Jum'at, 26/04/2024 03:32 WIB

Foto Selfie Laku Miliaran, Praktisi Hukum: Calon Investor Jangan Mudah Tergiur

Jangan latah investasi Blockchain, Kripto dan NFT tanpa pertimbangan matang

Hendra Setiawan Boen, praktisi hukum

Jakarta, Jurnas.com - Praktisi Hukum Hendra Setiawan Boen meminta masyarakat, khususnya para calon investor agar berhati-hati dan jangan mudah tergiur berinvestasi gara-gara ada seseorang yang mendapat uang miliaran rupiah dari penjualan foto selfienya sebagai Non-Fungible Token (NFT).

Pesan dari Hendra ini disampaikan terkait ramainya Blockchain, Kripto dan NFT, yang heboh lantaran ada seorang mahasiswa asal Semarang bernama Ghozali yang mengantongi uang Rp13,8 miliar setelah foto selfie miliknya laku dengan format NFT (Non Fungible Token) di OpenSea lewat akunnya Ghozali Everyday.

Hendra mengatakan, banyak orang Indonesia mulai latah ingin mencari peruntungan melalui investasi NFT, baik untuk menjual maupun membeli dengan harapan nilainya akan naik. Produk yang dijual sebagai NFT meliputi kue lapis, produk baju, dan foto KTP.

"Sebelum memutuskan berinvestasi pada kripto atau NFT, ada baiknya calon investor mempelajari terlebih dahulu secara mendalam supaya tidak mengalami kerugian besar," ujar Hendra di Jakarta, Minggu (16/1/2022).

Hendra, Advokat yang juga Managing Partner Frans & Setiawan Law Office itu menjelaskan, prinsip kehati-hatian sangat perlu diterapkan karena sulit memberi nilai instriksi pada produk virtual yang sepenuhnya ada di dunia maya seperti kripto dan NFT.

Apalagi Kripto maupun NFT tidak memiliki sektor riil atau asset riil yang menunjang harga atau nilai pasar, dan tidak didukung oleh bisnis utama atau underlying.

"Nilai pada produk-produk tersebut sepenuhnya diserahkan kepada tangan-tangan tidak terlihat. Jadi kripto maupun NFT lebih besar faktor spekulasi daripada investasinya," papar Hendra.

Lebih jauh Hendra mengingatkan masyarakat beberapa tahun belakangan, cukup banyak perusahaan sekuritas dan asuransi di Indonesia mengalami kesulitan finansial akibat salah menempatkan investasi di pasar saham maupun obligasi.

Kata Hendra, banyak investor yang mencoba mendapatkan kembali investasi mereka, bahkan dengan berbagai macam cara termasuk membuat pengaduan ke DPR, kementerian terkait, dan mengajukan gugatan perdata maupun PKPU dan pailit.

"Namun nyaris tidak ada yang berhasil," ungkap Hendra yang juga penerima penghargaan sebagai Rising Stars Lawyer dari Indonesia versi majalah Asian Legal Business edisi Maret 2020.

Ia mengatakan, menanamkan uang di perusahaan yang memiliki underlying dan aset riil saja ternyata perlu kehati-hatian, maka tentu prinsip ini perlu semakin diterapkan sebelum menanamkan investasi di produk yang fundamentalnya tidak jelas seperti kripto dan NFT.

Hendra mengingatkan berinvestasi pada produk dengan fundamental rendah selalu beresiko. Publik perlu mengingat kembali kejadian krisis global tahun 2008 yang disebabkan oleh produk mortgage-backed securities (MBS) dan collateralized debt obligations (CDO).

Surat berharga MBS dan CDO tersebut, lanjutnya, berasal dari berbagai kredit kepemilikan rumah (KPR) di Amerika yang tidak diteliti kemampuan membayar dari debitur KPR. Akibatnya, ketika para debitur ramai-ramai tidak membayar KPR mereka karena berbagai alasan, pasar MBS dan CDO runtuh seketika dan merugikan para investor.

"Krisis tahun 2008 yang dikenal sebagai subprime mortgage ini membangkrutkan perusahaan pialang besar seperti Fannie Mae, Freddie Mac, Lehman Brothers sampai menimbulkan kerusakan parah pada sistem perbankan negara Islandia," tutur Hendra mengingatkan.

Mantan, Direktorat Hukum Tim Kampanye Nasional Jokowi – Ma’ruf Amin ini menilai perlu juga dipertimbangkan dampak kerusakan lingkungan karena proses komputansi terkait blockchain, kripto dan NFC membutuhkan konsumsi energi yang luar biasa besar.

Analisis Universitas Cambridge menemukan, penambangan bitcoin mengkonsumsi 121,36 terawatt-per jam / tahun. Sebagai ilustrasi, jumlah ini mengalahkan konsumsi kumulatif aktivitas di Facebook, Microsoft, Apple dan Apple.

Dampaknya dari penelitian Universitas Columbia, bitcoin dapat mendorong pemanasan global lebih dari 2°C. Data Digiconomist menunjukan bitcoin menghasilkan sekitar 96juta tons karbondioksida per tahun, setara jejak karbon negara-negara kecil.

"Ini baru satu bitcoin dan belum menghitung kegiatan terkait blockchain," jelas Hendra.

Sebagai produk digital, lanjut Hendra, tidak ada batasan untuk menghasilkan kripto dan NFC yang lahir dari teknologi blockchain, namun sumber daya alam bumi untuk terus menerus memproduksi energi sebesar itu sangat terbatas.

Baru-baru ini saja Indonesia sampai harus melarang ekspor produk batubara karena PLN kekurangan pasokan. Larangan ini menyebabkan krisis listrik di berbagai negara lain.

"Jadi para calon investor dan investor perlu secara hati-hati menghitung apakah keuntungan dari blockchain, kripto dan NFC lebih banyak manfaat atau mudharat bagi diri sendiri dan/atau kelanjutan kehidupan manusia di muka bumi di tengah pencairan es di Kutub Utara yang semakin meluas sebagai akibat pemanasan global?" tuntas Hendra Setiawan Boen.

KEYWORD :

Hendra Setiawan Boen investasi Blockchain Kripto dan NFT




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :