Minggu, 12/05/2024 20:34 WIB

DPR: Pajak Karbon Jangan Dijadikan Alasan Kenaikan Tarif Listrik

Penerapan pajak karbon pada tahun 2022, sebagai disinsentif bagi kelembagaan yang melepas karbon, termasuk pembangkit listrik, dalam rangka menekan laju pelepasan karbon dioksida menuju zero emission, semestinya tidak secara otomatis diikuti dengan kenaikan tarif listrik.

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. Foto: Azka/Man

Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta Pemerintah tidak mengaitkan ketentuan pajak karbon dengan kenaikan tarif listrik di tahun 2022.

"Penerapan pajak karbon pada tahun 2022, sebagai disinsentif bagi kelembagaan yang melepas karbon, termasuk pembangkit listrik, dalam rangka menekan laju pelepasan karbon dioksida menuju zero emission, semestinya tidak secara otomatis diikuti dengan kenaikan tarif listrik," kata Mulyanto dalam keterangan resmi, Senin (20/12).

Menurut dia, meski sekitar 70 persen pembangkit listrik adalah PLTU yang menjadi kontributor penting bagi pelepasan gas karbon dioksida, namun tidak serta-merta penerapan pajak karbon ini langsung harus diikuti dengan peningkatan tarif listrik.

“Ini kan dua hal yang berbeda. Pajak karbon tujuannya agar lembaga pelepas karbon dioksida ke udara tergerak untuk mengurangi pelepasan karbon mereka melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih,” terangnya.

“Karenanya selain “hukuman” berupa pengenaan pajak karbon, Pemerintah tetap berkewajiban untuk mendorong dan membantu pembangkit listrik untuk memperbaiki sistem pengolahan limbah udara mereka melalui berbagai skema insentif," sambung Mulyanto.

Selain itu, masih kata Mulyanto, pajak karbon yang berhasil dikumpulkan tersebut ujung-ujungnya akan masuk kedalam kas negara dan dapat digunakan untuk membayar subsidi atau kompensasi listrik kepada PLN.

"Ini kan soal kantong kiri dan kantong kanan bendahara negara. Jadi kalaupun penerapan pajak karbon dapat meningkatan biaya penyediaan listrik (BPP) PLN, namun secara total “net” dengan sumber baru penerimaan negara tersebut menjadi impas,” imbuhnya.

Artinya, masih kata Mulyanto, penerapan pajak karbon tidak serta-merta harus diikuti dengan kenaikan tarif listrik. Karenanya Pemerintah jangan menjadikan alasan penerapan pajak karbon ini sebagai sebab bagi kenaikan tarif listrik.

“Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum berakhir, dimana ekonomi masyarakat, termasuk industri, belum pulih benar, semestinya Pemerintah tidak mengambil opsi kebijakan kenaikan tarif listrik. Hal ini akan menjadi kebijakan yang memberatkan masyarakat,” tandasnya.

Untuk diketahui sebagai konsekuensi dari diundangkannya UU No. tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diatur ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon bagi lembaga atau perorangan yang melepas karbon dioksida ke udara.

Besaran pajak tersebut adalah sebesar Rp 30/kg karbon dioksida. Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon ini untuk pembangkit listrik terhitung tahun 2022.

KEYWORD :

Warta DPR Komisi VII Mulyanto pajak karbon tarif listrik PKS




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :