Kamis, 25/04/2024 11:59 WIB

Dicurigai, Ada Praktek Kartelisasi di Balik Kenaikan Harga Minyak Goreng

Sulit untuk memahami fenomena pasar yang akan signifikan terhadap inflasi ini terjadi di negara yang memiliki perkebunan sawit terluas dunia. Tidak mungkin ada fenomena pasar yang demikian ekstrim kecuali telah terjadi praktek Kartelisasi minyak goreng.

Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin. (Foto: Humas DPD RI)

Jakarta, Jurnas.com - Wakil ketua dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Sultan B Najamudin keheranan dengan Kenaikan harga minyak goreng yang disebutnya cukup ekstrim di pasaran saat ini.

Harga minyak goreng naik, baik minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah. Bahkan kenaikan harga minyak goreng diperkirakan terjadi hingga kuartal I-2022. Harga normal Rp 18.000 per liter, sekarang Rp 22.000 per liter, setiap minggu naik terus.

"Sulit untuk memahami fenomena pasar yang akan signifikan terhadap inflasi ini terjadi di negara yang memiliki perkebunan sawit terluas dunia. Tidak mungkin ada fenomena pasar yang demikian ekstrim kecuali telah terjadi praktek Kartelisasi minyak goreng," tegas mantan ketua Kadin Bengkulu itu melalui keterangan resmi, Sabtu (4/12).

Menurutnya, jika seperti ini, maka manajemen industri sawit dan pasar minyak goreng kita sama seperti yang terjadi pada industri minyak bumi dan bahan bakar minyak. Kita hanya mendapat manfaat sebagai penghasil CPO. Meskipun sudah terdapat ratusan industri minyak goreng dalam negeri.

"Meskipun Karena CPO di pasar global sedang meningkat, pemerintah melalui kementerian perindustrian dan kementerian perdagangan bisa mengendalikan jumlah ekspor CPO dengan kebutuhan dalam negeri.  Di saat yang sama juga harus meningkatkan kapasitas dan volume tangki penampungan CPO,” urai politisi muda yang pernah menjadi pengurus DPP HIPMI ini.

Pemerintah dan pengusaha sawit, ujar Sultan, harus seimbang dalam mengatur suplay and demand dalam negeri. Melakukan ekapor CPO itu penting, tapi pastikan terlebih dahulu stok pasokan minyak goreng dalam negeri.

"Saya khawatir, justru para petani sawit kita juga harus menanggung beban pengeluaran yang lebih pada produk yang sumbernya berasal dari kebun mereka sendiri. Belum lagi pada sektor industri makanan dan Volatile lainnya, dampaknya akan ke mana-mana," kata Sultan.

Lebih lanjut, Senator muda asal Bengkulu itu, menekankan pentingnya Negara harus memiliki cara untuk memaksa para konglomerat sawit dan industri minyak goreng bersedia memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri dengan harga yang telah ditetapkan, sebelum memenuhi permintaan pasar ekspor.

"Selain itu, Kami Juga minta Satgas pangan untuk aktif melakukan penelusuran dan pemantauan di setiap titik-titik produksi dan  jalur distribusi Minyak goreng. Karena Sebentar lagi sudah memasuki bulan suci Ramadhan. Sehingga, Kita bisa mengendalikan trend kenaikan harga minyak goreng ini," tutupnya.

Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan kenaikan harga minyak disebabkan oleh beberapa faktor.

Salah satunya adalah akibat produsen minyak goreng di Indonesia kebanyakan belum terafiliasi dengan kebun sawit penghasil CPO, sehingga produsen minyak goreng tergantung pada harga CPO global.

"Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng dipatok di angka Rp11.000. Saat penyusunan HET tersebut, harga CPO masih berkisar antara USD500-600 per metrik ton," kata Oke.

KEYWORD :

Warta DPD Sultan B Najamudin Minyak Goreng Kartel




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :