Jum'at, 17/05/2024 11:56 WIB

Bertemu Dubes Afrika Selatan, Ketua MPR Bahas PLTN dan Pelestarian Satwa

Indonesia tidak perlu ragu untuk belajar mengembangkan PLTN dari Afrika Selatan.

Ketua MPR, Bambang Soesatyo menerima Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia H.E. Mr. Hilton Fisher, di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Kamis (18/11/21). (Foto: MPR)

Jakarta, Jurnas.com - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) bersama Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia H.E. Mr. Hilton Fisher membahas perkembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Koeberg yang dimiliki Afrika Selatan.

Memiliki dua reaktor nuklir, sejak beroperasi pada tahun 1984 hingga kini, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Koeberg tidak pernah mengalami kendala berat yang menyebabkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat Afrika Selatan. Justru sebaliknya, kedua reaktor nuklir tersebut memiliki kapasitas terpasang 1.940 MW dan menghasilkan sekitar 5 persen listrik Afrika Selatan.

"Afrika Selatan menjadi satu-satunya negara di benua Afrika yang memiliki PLTN. Tidak puas hanya dengan dua reaktor nuklir, Afrika Selatan juga berencana membangun delapan reaktor nuklir tambahan, guna mengakhiri ketergantungan pada batubara sebagai penghasil listrik. Indonesia tidak perlu ragu untuk belajar mengembangkan PLTN dari Afrika Selatan," ujar Bamsoet usai menerima Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia H.E. Mr. Hilton Fisher, di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Kamis (18/11/21).

Bamsoet menjelaskan, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Koeberg terletak sekitar 30 km di sebelah utara Cape Town di dekat Melkbosstrand di pesisir barat Afrika Selatan. Dimiliki oleh pembangkit listrik nasional Afrika Selatan, Eskom.

Keberadaannya menjadikan Afrika Selatan sebagai 15 negara produsen listrik bertenaga nuklir terbesar di dunia. Bersama dengan Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Korea Selatan, Kanada, Ukraina, Jerman, Jepang, Spanyol. Inggris. India, Taiwan, Brazil, dan Meksiko.

"Secara global pada tahun 2019, total produksi PLTN di berbagai negara dunia sudah mencapai 2.796 terawatt (triliun watt) per jam. Amerika Serikat di peringkat pertama dengan PLTN terbesar dunia mampu mengolah hingga 852 triliun watt per jam atau 30,5 persen dari total produksi PLTN global. Sementara Afrika Selatan di posisi ke-14 dengan mengolah hingga 14,2 triliun watt per jam," jelas Bamsoet.

Bamsoet menerangkan, di masa depan ketergantungan berbagai negara dunia terhadap PLTU akan berkurang drastis. Terlebih setelah pertemuan Conference of Parties (COP) ke-26 di Glasgow, Skotlandia beberapa hari lalu, berbagai negara dunia sepakat menurunkan emisi karbon agar bisa menekan kenaikan suhu bumi dibawah 1,5 derajat Celcius.

"Dalam COP-26, pembicaraan penggunaan energi nuklir juga sudah mulai menghangat untuk menurunkan emisi karbon. Dunia sepertinya sudah mulai pulih dari trauma kecelakaan nuklir Chernobyl di Ukraina maupun Fukushima di Jepang. Bahkan, Ukraina saja tetap menggunakan energi nuklir untuk memenuhi 53 persen sumber energinya," terang Bamsoet.

Bamsoet menuturkan, sebagai pelaksanaan COP-26, Indonesia menargetkan emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Untuk mencapai target tersebut, secara bertahap akan menghentikan operasi PLTU serta memaksimalkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), termasuk didalamnya memanfaatkan energi nuklir.

"Sebenarnya sejak tahun 1970-an Indonesia sudah mulai merencanakan pembangunan PLTN. Berbagai upaya dan proses panjang telah dilalui, namun tidak kunjung membuahkan hasil signifikan. Kini setelah COP-26, dari berbagai kajian yang dilakukan pemerintah, lahir opsi penggunaan nuklir direncanakan dimulai pada tahun 2045. Hingga pada tahun 2060 nanti, diharapkan kapasitasnya bisa mencapai 35 Giga Watt (GW). Agar bisa terealisasi dengan baik, tidak ada salahnya kita belajar dari Afrika Selatan" tandas Bamsoet.

Pada kesempatan ini, Bamsoet juga membahas peluang kerjasama pelestarian satwa antara Indonesia dengan Afrika Selatan. Mengingat kedua negara dikenal sebagai negara yang memiliki koleksi satwa beraneka ragam dan endemik. Afrika Selatan, misalnya, menjadi rumah bagi mamalia darat tercepat dunia Cheetah, burung terbesar dunia Burung Unta.

Selain juga menjadi rumah bagi mamalia darat terbesar dunia Gajah Afrika, reptil terbesar dunia penyu belimbing, hingga antelop terbesar dunia Eland. Afrika juga dikenal sebagai rumah bagi The Big Five, alias lima binatang paling sulit diburu di dunia, antara lain Singa, Leopard (Macan Tutul), Gajah Afrika, Kerbau Cape, dan Badak.

"Begitupun dengan Indonesia, yang juga menjadi rumah bagi berbagai hewan eksotik dan endemik. Seperti Orang Utan, Owa Jawa, Gajah Kalimantan, Jalak Bali, Burung Maleo, Burung Merak, hingga Burung Cenderawasih. Tidak menutup kemungkinan di masa depan, selain membangun kerjasama di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan, kedua negara juga bisa membangun kerjasama dalam hal pelestarian satwa," ujar Bamsoet.

Bamsoet menjelaskan, hubungan baik kedua negara sudah berlangsung sejak lama. Bahkan Nelson Mandela sebagai tokoh African National Congress (ANC) dan Presiden pertama Afrika Selatan pasca-Apartheid (1994-1999) mempunyai special attachment pada Indonesia. Mandela telah berkunjung ke Indonesia sebanyak empat kali pada 1990, 1994, 1997 dan 2002.

Mandela juga menjadi tokoh dunia yang memperkenalkan batik dengan sebutan Madiba Shirt di Afrika Selatan. Saat menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), di saat pemimpin dunia lainnya termasuk Indonesia menggunakan pakaian formal berupa Jas, Mandela justru berani mengenakan batik.

"Salah satu pahlawan nasional Indonesia, Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani, dimakamkan di Afrika Selatan. Bahkan, Nelson Mandela sampai menyebutnya sebagai `Salah Seorang Putra Afrika Terbaik`. Menandakan betapa kuatnya hubungan emosional ikatan batin kedua negara," jelas Bamsoet.

Bamsoet menerangkan, dari sisi Indonesia, Afrika Selatan merupakan satu-satunya negara Afrika yang memiliki kesepakatan Kemitraan Strategis dengan Indonesia.

Melalui Joint Declaration on a Strategic Partnership for a Peaceful and Prosperous Future Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of South Africa yang ditandatangani pada 17 Maret 2008, saat kunjungan kenegaraan Presiden SBY ke Afrika Selatan.

"Dari sisi Afrika Selatan, Indonesia dipandang sebagai bangsa yang memiliki ikatan sejarah erat dengan bangsa Afrika Selatan. Pemerintah Afrika Selatan sangat menghargai peranan Pemerintah Indonesia di masa lalu yang konsisten mendukung perjuangan Afrika Selatan menentang pemerintahan Apartheid. Ditandai kehadiran wakil dari African National Congress (ANC), Mosen Kotane, sebagai observer pada KTT Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung," terang Bamsoet.

Bamsoet menekankan, seiring kepemimpinan sebagai Ketua G20, Indonesia memandang perlunya menempatkan Afrika sebagai bagian dari solusi, Africa as part of the solution.

Sebagai penyambung aspirasi negara-negara berkembang, Indonesia menginginkan kerja sama yang lebih erat dengan Afrika Selatan, untuk memberikan keuntungan dan mempersempit jurang kesenjangan pembangunan antara negara maju, berkembang dan negara kurang berkembang.

"Sebagai sesama produsen besar produk pertanian, kedua negara perlu untuk memperkuat kerjasama. Saat ini, Afrika Selatan merupakan mitra dagang utama Indonesia dari kawasan Afrika, dengan nilai perdagangan bilateral kedua negara mencapai USD 1.2 miliar di tahun 2020. Nilai tersebut masih sangat bisa ditingkatkan. Bagi Indonesia, Afrika Selatan merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan ekspor CPO dan turunannya. Sementara bagi Afrika Selatan, Indonesia menjadi tujuan ekspor bagi berbagai produk besi dan baja, bubur kertas, dan berbagai produk pertanian seperti buah tropis hingga wine," pungkas Bamsoet.

KEYWORD :

Kinerja MPR Bambang Soesatyo Afrika Selatan PLTN Satwa




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :