Minggu, 15/06/2025 19:25 WIB

Urgensi Penerapan Kebijakan dan Rasional dalam Atasi AMR di Indonesia

Dalam menangani kejadian AMR, prinsip pendekatan One Health, yakni koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi perlu dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait (intersektoral)

Ilustrasi obat (foto:redaksi24)

Jakarta, Jurnas.com - Angka Resistensi Antimikroba (AMR) salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia. Kebijakan peresepan, praktik penjualan dan konsumsi antibiotik yang bijak dan rasional semakin mendesak di Indonesia.

Prof. dr. Agus Suwandono, MPH., Dr.PH. selaku Koordinator INDOHUN pada webinar hari ini mengatakan, “Berdasarkan data dari WHO, selama 15 tahun terakhir, penggunaan antibiotik meningkat sampai 91% secara global dan di negara berkembang sendiri meningkat hingga 165%.”

Ia menambahkan, dalam menangani kejadian AMR, prinsip pendekatan One Health, yakni koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi perlu dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait (intersektoral).

Pemerintah Indonesia sendiri sudah menetapkan kebijakan berupa Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit-rumah sakit melalui Permenkes No.8 Tahun 2015 dan juga terdapat beberapa peraturan penggunaan antibiotik di luar rumah sakit.

Selanjutnya, tidak hanya peran pemerintah yang diperlukan dalam penanganan AMR. Sama seperti pandemi COVID-19, program-program pemerintah akan berhasil jika didukung juga oleh masyarakyat.

“Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan AMR diperlukan yaitu dalam menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi,” terangnya.

Dr. dr. Harry Parathon, Sp.OG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021, dalam presentasinya mengatakan, Banyaknya penjualan antibiotik tanpa resep yang kerap terjadi di Indonesia merupakan salah faktor pemicu AMR.

Ia menjelaskan, peraturan mengenai penjualan obat antibiotik diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949 di mana disebutkan bahwa yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah Dokter, Dokter Gigi, dan Dokter Hewan.

UU Obat keras tersebut menyatakan bahwa obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak.

Selain itu, pada bungkus luar obat keras harus dicantumkan tanda khusus ini berupa kalimat ‘Harus dengan resep dokter’ yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977,” tambahnya.

Untuk menghambat laju AMR, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang didasari oleh Permenkes no 8/2015 tentang implementasi PPRA di rumah sakit, yang bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pasien, mencegah dan mengendalikan resistansi antimikroba, menurunkan angka kejadian rawat inap berkepanjangan, dan menurunkan kuantitas penggunaan antimikroba.

Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK(K), Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada, mengatakan, “Di Indonesia, antibiotik dipercaya sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit mulai dari demam sampai nyeri sendi. Antibiotik dapat dibeli di apotek, toko obat, dan bahkan warung yang tersebar di seluruh Indonesia.”

Ia menambahkan, masyarakat seringkali membeli obat di tempat-tempat ini sebagai bentuk pertolongan pertama pada penyakit ringan. Obat-obat ini seringkali dijual tanpa resep. Pasien menganggap bahwa pengobatan mandiri dengan membeli obat di apotek atau toko obat lebih mudah dan hemat biaya.

Untuk mengatasi berbagai hal tersebut, penguatan implementasi regulasi merupakan salah satu cara untuk mengendalikan peredaran antibotik di masyarakat yang dapat berlaku sebagai pemicu resistensi antibiotik.

KEYWORD :

AMR Kebijakan Resistensi Antimikroba Obat Dokter




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :