Pencabutan Kewenangan Dewas KPK Diharap Jadi Momentum Revisi KUHAP

Rabu, 05/05/2021 16:41 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut kewenangan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) memberikan izin penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan sebagai putusan yang tepat.

Hal ini lantaran putusan tersebut mengklarifikasi kedudukan Dewas KPK yang tidak termasuk sebagai aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Namun, ICJR menilai putusan itu belum cukup memperbaiki sistem akuntabilitas untuk memperkuat pengawasan yudisial terhadap upaya paksa yang dilakukan penegak hukum. Untuk itu, ICJR mendorong dilakukannya revisi atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Langkah reformasi selanjutnya yang masih perlu dilakukan yakni memperbaiki sistem akuntabilitas untuk memperkuat pengawasan yudisial terhadap upaya paksa melalui revisi KUHAP," kata Peneliti ICJR, Iftitahsari dalam keterangannya, Rabu (5/5).

Diketahui, MK melalui putusannya nomor 70/PUU-XVII/2019 mengabulkan sebagian permohonan uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU KPK.

Beberapa poin permohonan yang dikabulkan oleh MK antara lain mengenai pencabutan kewenangan Dewan Pengawas KPK untuk memberikan izin penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan sebagaimana diatur dalam Pasal 12B, 37B ayat (1) huruf b, dan 47 ayat (2) UU 19/2019.

Dalam pertimbangan Majelis Hakim MK, kewenangan yang dimiliki Dewas KPK tersebut telah tumpang tindih dengan kewenangan dalam penegakan hukum (pro Justitia) yang seharusnya hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum.

Dewas KPK sebagai lembaga ekstra yudisial tidak boleh diberi kewenangan-kewenangan yudisial/pro Justitia seperti yang berkaitan dengan pelaksanaan upaya paksa yang beririsan dengan perampasan hak atau kemerdekaan orang/barang.

Sebab kewenangan tersebut hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum yang secara kelembagaan telah tertata dalam sistem peradilan pidana.

Majelis Hakim MK lebih lanjut dalam putusannya juga menjelaskan bahwa kewenangan Dewas KPK terkait upaya paksa penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan hanya sebatas untuk fungsi pengawasan.

Dalam konteks ini, penyidik KPK wajib mengirimkan pemberitahuan mengenai pelaksanaan upaya paksa yang dilakukannya tersebut kepada Dewas KPK hingga maksimal 14 hari sejak penyadapan dilakukan dan maksimal 14 hari sejak penggeledahan/penyitaan selesai dilakukan.

Mekanisme ini menurut Majelis Hakim MK tetap diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan upaya paksa tersebut.

Iftitahsari mengatakan, sebagai bentuk pengawasan, kaidah dalam putusan MK masih jauh dari konsep ideal sistem akuntabilitas dalam sistem penegakan hukum pidana. Pengawasan terhadap upaya paksa seharusnya diletakkan pada lembaga pengadilan.

"Namun saat ini pengawasan yudisial melalui lembaga pengadilan terhadap upaya paksa masih belum efektif," katanya.

Dipaparkan, riset yang dilakukan ICJR pada 2014 mengenai lembaga praperadilan menemukan berbagai keterbatasan fungsi lembaga tersebut baik dari segi pengaturan dalam KUHAP maupun penerapannya sehingga akhirnya lebih banyak menguji persoalan-persoalan administratif daripada yang substansial.

Selain itu, dalam konteks penyadapan, KUHAP pun bahkan juga masih belum mengatur mengenai izin penyadapan yang harus dimintakan ke pengadilan.

"Sehingga putusan MK yang merombak kewenangan Dewas KPK ini pun juga tidak menjawab persoalan krisis akuntabilitas terhadap upaya paksa yang saat ini dihadapi oleh sistem peradilan pidana di Indonesia. Oleh karenanya, ICJR mendorong agar DPR dan Pemerintah segera menginisiasi pembahasan revisi KUHAP," katanya.

Dikatakan, dalam rancangan RKUHAP 2012, tim penyusun telah mencoba memperkenalkan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin pelaksanaan upaya paksa mulai dari penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, hingga penyadapan.

Kehadiran lembaga HPP melalui revisi KUHAP ini akan mampu mengatasi sebagian persoalan krisis akuntabilitas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

"Sedangkan pada bagian yang lain, masalah kewenangan aparat penegak hukum yang eksesif dalam pelaksanaan berbagai bentuk upaya paksa juga masih menjadi catatan tersendiri yang juga perlu diselesaikan melalui perubahan KUHAP," jelasnya.

TERKINI
Perang Epik Rebutan Kilang Anggur, Brad Pitt dan Angelina Jolie Saling Menuduh Milla Jovovich Ungkap Dirinya Pernah Jadi Baby Sitter Anak-anak Bruce Willis dan Demi Moore Akhirnya Britney Spears Benar-benar Bebas dari Ayahnya Setelah Konservatori Usai 2 Tahun Lalu Scarlett Johansson Dampingi Suaminya Colin Jost Jadi Penghibur di Gedung Putih