Pengamat Sebut Prof Jimly Ashiddiqie Tidak Konsisten Menyikapi RUU BPIP

Minggu, 19/07/2020 23:30 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menilai Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Prof. Jimly Ashiddiqie tidak konsisten dalam menyikapi kedudukan dan kewenangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Jika sebelumnya Prof. Jimly berpendapat bahwa BPIP perlu diperkuat dan mendukung pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), maka saat ini ia justru menilai BPIP tak perlu dibuatkan UU karena Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2018 tentang BPIP sudah cukup menjadi landasan hukum.

"Prof. Jimly Ashiddiqie memiliki pendapat yang kontradiktif dengan pandangannya sendiri. Sebab sebelumnya beliau sepakat dengan RUU tersebut, bahkan mengajukan usulan penambahan wewenang BPIP," ujar Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, Minggu (19/7/2020).

Pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, sebagai pengganti nomenklatur Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Karyono mengingatkan, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Badan Legislasi DPR RI pada 11 Februari 2020, Prof. Jimly mengusulkan naiknya status BPIP menjadi Dewan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila (DN-PIP) yang memiliki kewenangan mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD kepada Mahkamah Konstitusi, dan peraturan perundang-undangan di bawah UU kepada Mahkamah Agung.

Dengan kewenangan ini, kedudukan DN-PIP memiliki _constitutional importance_ yang setara dengan lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945.

Prof. Jimly juga disebut pernah mengatakan bahwa DN-PIP menjadi penjaga gawang bagi sinkronisasi peraturan perundang-undangan guna menegakkan nilai-nilai Pancasila dalam tata hukum kita.

Melihat pernyataan-pernyataan tersebit, Karyono menilai sejak awal Prof. Jimly sepakat dengan RUU penguatan BPIP, bahkan menambahkan wewenang konstitusional untuk melakukan evaluasi, sinkronisasi dan harmonisasi produk perundang-undangan agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Selain mengusulkan penambahan wewenang BPIP, menurut Karyono, Prof. Jimly juga mengusulkan agar RUU ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan _omnibus law_, sehingga UU lain yang memiliki keterkaitan dengan materi kebijakan normatif dalam RUU BPIP bisa dievaluasi dan disinkronisasikan secara terpadu.

"Dengan demikian, agak membingungkan jika saat ini Prof. Jimly berubah pendapat terkait urgensi payung hukum terhadap Badan Pembinaan Ideologi Pancasila tersebut," papar Karyono.

Bagi Karyono, menaikkan _legal standing_ BPIP dari Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2018 menjadi UU sangat wajar dan sudah dilakukan untuk lembaga pemerintah non-kementerian lain.

Kata Karyono, banyak lembaga pemerintah non-kementerian berpayung UU. Seperti Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika yang berpayung hukum UU No. 31 Tahun 2009, Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang berpayung hukum UU No. 8 Tahun 2008, atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang berpayung hukum UU No. 5 Tahun 2018.

"Mengingat betapa pentingnya pembinaan ideologi Pancasila, maka sangat penting BPIP mendapatkan payung hukum selevel UU," demikian penjelasan Karyono.

“Dengan berpayung hukum UU, program penguatan Pancasila tidak akan berganti atau bahkan hilang akibat pergantian rezim. Penguatan Pancasila sebagai dasar negara akhirnya tidak tergantung pada siapa yang sedang berkuasa, karena telah memiliki landasan hukum yang permanen, yakni UU," pungkas Karyono.

TERKINI
Taylor Swift Sedih Tinggalkan Pacar dan Teman-temannya untuk Eras Tour di Eropa Album Beyonce Cowboy Carter Disebut Layak Jadi Album Terbaik Grammy 2025 Ryan Gosling Bikin Aksi Kejutan ala Stuntman The Fall Guy di Universal Studios Dwayne Johnson Senang Jadi Maui Lagi di Moana 2