Sabtu, 21/07/2018 19:13 WIB
Jakarta - Perkawinan usia anak masih rentan terjadi di beberapa negara, khususnya negara berkembang dan miskin. Realitas ini harus dihadapi oleh sebagian anak terutama oleh anak perempuan yang berpendidikan rendah dan berasal dari keluarga kurang mampu yang tinggal di pedesaan atau di daerah tertinggal.
Vice President of Life Operation Division Sequis Eko Sumurat mengatakan, kita perlu peduli menekan kematian ibu dan anak. Salah satunya dengan menentang perkawinan usia anak. "Karena anak adalah generasi bangsa sehingga selayaknya mereka mendapatkan hak untuk bertumbuh, hak bermain, rasa aman, pendidikan terbaik, gizi yang layak serta akses pada layanan kesehatan," ujarnya.
Ketua DPR Ingatkan Perlindungan hingga Kesetaraan Buruh Perempuan
Penguasa Afghanistan Tidak Hadir, Pertemuan HAM PBB Soroti Sikap Taliban terhadap Perempuan
Anggota DPR: Distribusi Pupuk Subsidi Masih Banyak Dikeluhkan Petani
Sementara itu, dokter Spesialis Kebidanan & Penyakit Kandungan OMNI Hospitals Alam Sutera Handojo Tjandra mengemukakan, secara anatomi, tubuh remaja perempuan belum siap untuk proses mengandung dan melahirkan.
“Seseorang yang sudah mengalami pubertas belum dapat disebut dewasa. Karena pubertas menandakan si anak memasuki masa remaja. Pada masa ini, organ reproduksi mulai bertumbuh dan baru berkembang menuju kedewasaan jadi sebaiknya tidak digunakan untuk melakukan hubungan seksual dan reproduksi” ujar