DPR: Indonesia Krisis Perlindungan Data Pribadi

Selasa, 31/08/2021 18:56 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Kalangan dewan mengkhawatirkan maraknya kasus kebocoran data yang terjadi belakangan di Indonesia. Nasib sistem keamanan data di Indonesia terancam dicuri atau diperjualbelikan.

“Apa yang terjadi di Indonesia saat ini adalah krisis perlindungan data pribadi, bahkan penyimpanan data di Indonesia cukup lemah,” kata anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PPP, Muhammad Iqbal dalam diskusi Forum Legislasi DPR dengan tema “Nasib RUU Perlindungan Data Pribadi” di Media Center Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (31/8).

Menurut dia, isu perlindungan data pribadi menjadi isu krusial saat ini. Padahal, masyarakat pastinya menginginkan data-data mereka yang ada di suatu instansi, baik itu perusahaan swasta, pemerintah ataupun di lembaga-lembaga lainnya itu aman, tidak dicuri ataupun diperjualbelikan.

Dia mencontohkan pada tahun 2020, terjadi sejumlah kasus kebocoran dari berbagai instansi, baik itu instansi swasta maupun pemerintah. Misalnya, terjadi kebocoran 230.000 data pasien Covid-19, kemudian terjadi kebocoran 91 juta data akun Tokopedia, 13 juta akun Bukalapak dan masih banyak lagi kebocoran data yang lainnya.

“Begitu juga di tahun 2021 yang baru-baru ini terjadi, ada kebocoran data 2 juta data nasabah BRI Life beserta dokumen penting yang berhasil dicuri oleh hacker dan isunya akan diperjualbelikan, belum lagi data BPJS,” bebernya.

Agar data-data tersebut aman dari tindakan pencurian dan diperjualbelikan, Sekertaris Fraksi PPP MPR ini meminta agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memperkuat penyimpanan data terhadap instansi yang ada di indonesia, baik swasta, pemerintah ataupun lembaga-lembaga lainnya.

“Hal yang dilakukan seperti peningkatan sumber daya manusia (SDM), modernisasi alat pendukung dan penyimpannya. Ke depannya perlu ada koordinasi yang terpadu antara Kominfo dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Cyber Crime Polri,” tegas Iqbal

Senada dengan Iqbal, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi NasDem M. Farhan juga menegaskan, RUU PDP hal yang menjadi sangat penting.

“Bukan hanya suatu yang krusial dan kritis lagi, melainkan mendekati darurat karena setiap minggu ada berita kebocoran data pribadi,” tegas Farhan.

Sementara itu, Staf Ahli Menkominfo, Henri Subiakto membenarkan sekarang ini kalau dilihat dari BSSN, terjadi peningkatan serangan cyber 5 kali lipat dari tahun 2019 ,2020, 2021.

“Catatan saya sama persis dengan apa yang disampaikan tadi. BPJS Kesehatan sampai 279 juta, dan data ini melebihi jumlah penduduk malah, kemudian Tokopedia 91 juta, belakangan BRI life 2 juta dan tadi e Hac di Kementerian Kesahatan (Kemenkes) kena juga, ” kata Henry.

Pertanyaannya lalu kalau seperti itu bagaimana, siapa yang harus bertanggung jawab. Kalau dari segi undang-undang existing yang ada hukum positif yaitu undang-undang ITE pasal 15 itu disebutkan, penyelenggara sistem elektronik hanya menyelenggarakan sistem elektronik secara anda dan aman secara bertanggung jawab.

“Artinya kalau BPJS punya sistem, harus andal, aman dan bertanggung jawab, itu amanah undang-undang. Kalau BRI bikin sistem dia harus andal aman dan tak bertanggung jawab. Kalau BCA bikin sistem dia harus andal aman dan bertanggung jawab. Akan menjadi kacau kalau itu harus menjadi tanggung jawab negara, karena kalau BCA di hack kemudian apakah negara harus menomboki? Perpres 28 tahun 2017 Perpres pendidikan BSSN, persoalan cyber security atau keamanan cyber itu bukan tanggung jawabnya Kominfo tetapi tanggung jawabnya BSSN . Sayangnya anggarannya tadi BSSN hanya segitu, ini persoalan yang agak cukup besar, “ujarnya.

TERKINI
Taylor Swift Sedih Tinggalkan Pacar dan Teman-temannya untuk Eras Tour di Eropa Komisi I DPR: Pemerintah Perlu Dialog Multilateral Redam Konflik di Timur Tengah Album Beyonce Cowboy Carter Disebut Layak Jadi Album Terbaik Grammy 2025 Ryan Gosling Bikin Aksi Kejutan ala Stuntman The Fall Guy di Universal Studios