Jum'at, 19/04/2024 09:52 WIB

CIPS Minta Pemerintah Antisipasi Kenaikan Harga Beras Jelang Pergantian Tahun

Tidak mencukupinya jumlah stok akhir di 2017 akhirnya memaksa pemerintah untuk melakukan importasi beras hingga sebanyak 2,25 juta ton di sepanjang tahun 2018 atau sejumlah US$ 1,03 miliar.

Stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) menjelang puasa dan lebaran 2018 di DKI Jakarta aman (Foto: Kementan/jurnas.com)

Jakarta, Jurnas.com - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Galuh Octania meminta pemerintah segera mengantisipasi adanya potensi kenaikan harga beras menjelang perayaan hari raya dan libur nasional.

Menurut Galuh, jumlah stok sebanyak 1,1 juta ton saat ini tidak hanya menandakan lebih rendahnya stok dibanding 2019 yang berjumlah 2,24 juta ton, namun juga lebih rendah dibandingkan dengan stok beras 2018 sebanyak 2,19 juta ton.

Walaupun demikian, lanjut Galuh, jumlah stok beras saat ini masih lebih tinggi kalau dibandingkan dengan stok 2017 yang tercatat sebanyak 900.000 ton.

Jika melihat perbandingan yang kurang lebih sama dengan keadaan di 2017, kata Galuh, Indonesia harus dapat mengantisipasi ketersediaan beras, tidak hanya untuk menghadapi libur akhir tahun akan tetapi juga menghadapi kebutuhan tahun 2021.

"Laporan Indeks BURT (Indeks Bulanan Rumah Tangga) yang rutin dikeluarka CIPS setiap bulannya menunjukkan harga beras kualitas medium sejak Oktober memang terpantau stabil tinggi di kisaran Rp 12.500 per kilogram. Namun, harga ini berpotensi untuk mengalami kenaikan jelang Natal dan Tahun Baru 2021," ujar Galuh.

Merujuk data BPS, Galuh mengatakan, tidak mencukupinya jumlah stok akhir di 2017 akhirnya memaksa pemerintah untuk melakukan importasi beras hingga sebanyak 2,25 juta ton di sepanjang tahun 2018 atau sejumlah US$ 1,03 miliar.

"Peluang berulangnya keadaan seperti ini di tahun 2021 seharusnya sudah diantisipasi sesegera mungkin," ujar Galuh

Galuh mengatakan, perhitungan akan impor harus dikalkulasikan sedini dan seefektif mungkin untuk menghindari kerugian akibat tingginya harga beras dan panjangnya birokrasi impor.

Selain panjangnya proses birokrasi impor, lanjut Galuh, Indonesia juga perlu mewaspadai maraknya perilaku proteksionisme akibat pandemi virus corona baru (COVID-19).

Menurut WFP, selama pandemi Covid-19, harga beras dunia tercatat mengalami kenaikan dikarenakan adanya stockpiling behavior atau perilaku menimbun yang dilakukan oleh masing-masing BUMN pangan negara-negara di dunia dan adanya penutupan ekspor untuk memenuhi produksi domestik setiap negara.

Laporan Indeks BURT CIPS di Bulan November 2020 mencatat bahwa setiap keluarga di Indonesia dapat menghemat pengeluaran hingga Rp224.000 jika harga pangan Indonesia sama terjangkaunya dengan harga di ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura.

Data FAO 2020 juga memprediksi bahwa produksi beras dunia diperkirakan mencapai 509,2 juta ton pada tahun 2020 atau meningkat 1,7% dari tahun sebelumnya. Pasokan beras dunia lebih dari cukup untuk menutupi permintaan global dengan rasio stok terhadap penggunaan 35,3%.

Sementara itu pada pasokan beras nasional, data Kementerian Pertanian 2020 menunjukkan produksi beras nasional diperkirakan berjumlah sekitar 16,8 juta ton atau lebih rendah 9,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, melanjutkan tren penurunan sejak 2018.

Galuh melanjutkan, meskipun ketersediaan lebih dari cukup untuk menutupi permintaan domestik di semester pertama dengan surplus 6,4 juta ton, terdapat kekhawatiran pasokan beras menjelang akhir tahun dan awal tahun depan karena musim kemarau biasanya hanya menyumbang 35% untuk produksi tahunan.

KEYWORD :

Impor Beras Pergantian Tahun Harga Beras Beras Mahal




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :