Jum'at, 26/04/2024 07:18 WIB

Komisi III DPR Soroti Dualisme dalam Perpres Pelibatan TNI Berantas Terorisme

Komisi III DPR menyoroti dualisme dalam Perpres soal pelibatan TNI dalam aksi pemberantasan terorisme. Terdapat sejumlah catatan kritis yang disampaikan Komisi III DPR kepada pemerintah.

Ketua Komisi III DPR, Herman Herry

Jakarta, Jurnas.com - Komisi III DPR menyoroti dualisme dalam rancangan peraturan presiden (Perpres) soal pelibatan TNI dalam aksi pemberantasan terorisme. Terdapat sejumlah catatan kritis yang disampaikan Komisi III DPR kepada pemerintah.

Ketua Komisi III DPR, Herman Herry mengatakan, Komisi III telah memberikan pandangan dan catatan kritis terkait rancangan perpres tersebut dan telah disampaikan kepada Menkum HAM. Selanjutnya hasil pandangan Komisi III akan dibahas oleh pemerintah melalui Menko Polhukam.

Menurutnya, Komisi III DPR menyoroti potensi adanya dualisme kewenangan dan pertentangan hukum dalam rancangan perpres tersebut. Khususnya, kemungkinan gesekan yang terjadi antara TNI dan aparat penegak hukum lainnya.

"Dalam rancangan perpres ini, kegiatan penangkalan berpotensi bergesekan atau bersinggungan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pihak lain yakni aparat penegak hukum dan intelijen berdasarkan undang-undang. Hal ini berpotensi menimbulkan dualisme kewenangan dan pertentangan hukum," kata Herman, kepada wartawan, Jumat (27/11).

Komisi III DPR juga menyoroti kewenangan pencegahan dan kewenangan penindakan aksi terorisme. Herman secara khusus menyoroti Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, TNI tidak berwenang melakukan pencegahan Terorisme. Pencegahan Tindak Pidana Terorisme merupakan kewenangan BNPT," katanya.

Selain itu, salah satu hal yang disoroti Komisi III DPR adalah mengenai definisi dari kata `aksi terorisme`. Menurutnya, definisi `aksi terorisme` masih belum menunjukkan perbedaan antara `aksi terorisme` dengan `tindak pidana terorisme`.

"Definisi `aksi terorisme` belum menunjukkan perbedaan aksi terorisme dengan tindak pidana terorisme atau terorisme sehingga belum mampu menjelaskan keadaan dan situasi peran TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 43 I UU No 5 Tahun 2018," kata Herman.

"`Aksi terorisme` seharusnya dipahami sebagai tindakan nyata yang menimbulkan suasana teror yang meluas dan melampaui kemampuan kepolisian. Frasa `atau dengan eskalasi tinggi` sebaiknya diubah menjadi `bereskalasi tinggi`," sambungnya.

Lebih lanjut Komisi III DPR menyoroti pengaturan lebih rinci mengenai batasan peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Sebab menurutnya, tugas yang meliputi penangkalan dan pemulihan aksi terorisme adalah kegiatan yang menjadi kewenangan BNPT. Hal ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Dalam hal ini perlu adanya pengaturan lebih rinci dengan batasan-batasan yang jelas, bahwa telah timbul ancaman yang nyata dan membutuhkan pola pendekatan militer, yakni sudah di luar kemampuan dari kepolisian, agar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," ujarnya.

Diketahui, pemerintah telah menerima masukan dari Komisi I dan Komisi III DPR terkait Perpres pelibatan TNI untuk memberantas terorisme. Masukan tersebut selanjutnya akan dirapatkan oleh pemerintah.

"Hari ini kami sudah terima masukan Komisi I dan Komisi III. Nanti masukan DPR akan kami bahas di pemerintah. Saya akan surati Menko Polhukam," kata Menkum HAM, Yasonna Laoly, kepada wartawan di gedung DPR, Rabu (25/11).

KEYWORD :

Komisi III DPR Perpres Pelibatan TNI Pemberantasan Terorisme




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :