Kamis, 25/04/2024 06:50 WIB

ICW Kecam Putusan PK MA Atas Pengurangan Hukuman Bupati Kepulauan Talaud

Indonesi Corruption Watch (ICW) mengecam putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi hukuman terhadap mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana

Jakarta, Jurnas.com - Indonesi Corruption Watch (ICW) mengecam putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi hukuman terhadap mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, hasil vonis PK yang dijatuhkan MA terhadap Sri Wahyumi dinilai jauh lebih ringan.

"Sedari awal yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman selama 4 tahun 6 bulan, akan tetapi karena putusan PK tersebut malah dikurangi menjadi hanya 2 tahun penjara" kata Kurnia, kepada Wartawan, Jakarta, Senin (31/8).

Kurnia mengatakan, vonis PK yang dijatuhi MA kepada Sri Wahyuni sangat janggal. Sebagaimana diketahui, Pihak swasta Benhur yang merupakan perantara suap dijatuhi pidana lebih tinggi dibandingkan penyelenggara negara sebagai dalang terjadinya korupsi.

"Benhur, yang merupakan perantara suap Bupati Kepulauan Talaud dijatuhi pidana selama 4 tahun penjara," ungkap Kurnia.

Maka dari itu, Kurnia membandingkan vonis PK yang dijatuhkan oleh MA atas Sri Wahyumi dengan hukuman yang menimpa Abdul Latif, Kepala Desa di Kabupaten Cirebon.

Dimana, hasil vonis dari Kepala Desa itu dihukum selama 4 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana desa sebesar Rp354 juta.

Namun ICW tidak lagi kaget, Kurnia mengungkap bahwa sejak awal Mahkamah Agung tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi. Sebagaimana tren vonis pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut.

"Rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi," ungkap Kurnia.

Dimana tercatat dalam data yang dimiliki ICW, sejak Maret 2019 sampai saat ini sebanyak 11 terpidana kasus korupsi mendapatkan pengurangan masa tahanan setelah mengajukan permohonan PK di MA.

Kurnia berpendapat, Ketua Mahkamah Agung harus selektif untuk memilih majelis yang akan menyidangkan perkara pada tingkat PK.

"Selain itu hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi tidak lagi dilibatkan. tak hanya itu, klasifikasi korupsi sebagai extraordinary crime seharusnya dapat dipahami dalam seluruh benak hakim agung, ini penting, agar di masa yang akan datang putusan-putusan ringan tidak lagi dijatuhkan," ujar Kurnia.

Kurnia meminta agar tren untuk mengurangi hukuman di tingkat PK ini menjadi perhatian khusus bagi Ketua Mahkamah Agung. Jika ini terus menerus berlanjut, maka publik tidak lagi akan percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi.

Serta meminta kepada MA agar menolak 20 permohonan PK yang sedang diajukan. "Sebab, bukan tidak mungkin PK ini hanya akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat," tutup Kurnia.

KEYWORD :

Kasus Korupsi KPK Peninjauan Kembali Mahkamah Agung




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :