Jum'at, 19/04/2024 10:24 WIB

Tolak RUU Cipta Kerja, Wakil Ketua MPR RI: Tidak Berpihak Buruh, Karyawan, dan Rakyat

Pemerintah seharusnya menyerap aspirasi masyarakat terlebih dahulu. Sebab, RUU ini ditolak oleh semua buruh dan elemen masyarakat lainnya.

Wakil Ketua MPR Syarifuddin Hasan

Jakarta, Jurnas.com - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Demokrat, Syarief Hasan kembali menyampaikan penolakannya terhadap RUU Cipta Kerja (Omnibus Law). Menurutnya, Pemerintah seharusnya menyerap aspirasi masyarakat terlebih dahulu. Sebab, RUU ini ditolak oleh semua buruh dan elemen masyarakat lainnya.

Ia pun menyoroti muatan dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tidak pro terhadap rakyat. Misalnya, hilangnya ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebab Pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP).

"UMP di hampir semua Provinsi lebih kecil dibandingkan UMK-nya, kecuali di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Akibatnya, upah buruh dan menjadi semakin kecil dan tidak layak. RUU ini menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap buruh, karyawan, dan rakyat kecil", ungkap Syarief.

RUU Cipta Kerja juga membuat aturan pesangon yang kualitasnya menurun dan tanpa kepastian. Nilai pesangon bagi pekerja yang terkena PHK menurun karena pemerintah menganggap aturan yang lama tidak implementatif. “RUU ini akan semakin mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK karena uang pesangonnya lebih kecil. Aturan baru ini malah lebih tidak implementatif dan tidak pro-rakyat”, ungkap Syarief.

Ia juga menyayangkan dihilangkannya sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan. Omnibus law menggunakan basis hukum administratif, sehingga para pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda.

"Sekarang, sanksi pidana bagi pelanggar pesangon dan PHK dihapus. Pengusaha bisa semena-mena melakukan pelanggaran karena hanya mendapatkan sanksi administratif," sesal Syarief Hasan.

Selain itu, RUU ini juga akan membuat karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap, PHK juga akan semakin dipermudah. Serta hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

Syarief Hasan memandang bahwa setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan harus mendengarkan aspirasi rakyat dan melibatkan rakyat. “Suara rakyat harus didengarkan karena bukankah Pemerintah bekerja untuk rakyat?”, sebut Syarief Hasan.

Banyaknya penolakan dan demo yang dilakukan masyarakat menunjukkan bahwa RUU Cipta Kerja tidak pro-rakyat. “Pemerintah dan DPR RI tidak boleh memanfaatkan situasi Pandemi ini untuk mengesahkan UU yang tidak dinginkan karena merugikan rakyat ”, jelas Syarief Hasan.

Ia juga mendesak Pemerintah bersama DPR RI untuk lebih  berfokus pada program penanggulangan Pandemi Covid-19.

Mengingat, angka positif Covid-19 makin meningkat dari hari ke hari sehingga tertinggi di kawasan ASEAN  dan belum adanya tanda-tanda penurunan, sehingga menuntut fokus dan prioritas Pemerintah untuk menanggulangi Covid-19 dibandingkan membahas RUU Cipta Kerja dalam  situasi genting saat ini.

“Pemerintah itu seharusnya hadir untuk selalu menyerap aspirasi dan pelayanan terbaik  bagi rakyat, bukan semakin mempersulit rakyat di tengah Pandemi Covid-19.”, tutup Syarief Hasan.

KEYWORD :

Kinerja MPR Syarief Hasan RUU Cipta Kerja




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :