Kamis, 25/04/2024 08:28 WIB

Presiden Prancis Desak Uni Eropa Sanksi Lagi Turki

Pada Juni, Prancis menuduh kapal-kapal Turki menargetkan salah satu fregatnya ketika sedang ingin memeriksa kapal barang berbendera Tanzania yang dikawal Turki di lepas pantai Libya.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron ikut serta dalam upacara tradisional Lily of the valley di istana Elysee, Paris, pada 1 Mei 2020. (Fot: AFP)

Istanbul, Jurnas.com - Presiden Prancis, Emmanuel Macron mendesak Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi lebih lanjut pada Turki jika Ankara melanggar ruang maritim Yunani atau Siprus.

Hubungan antara Paris dan Ankara suda merenggang. Pada Juni, Prancis menuduh kapal-kapal Turki menargetkan salah satu fregatnya ketika sedang ingin memeriksa kapal barang berbendera Tanzania yang dikawal Turki di lepas pantai Libya.

Uni Eropa memberlakukan beberapa sanksi terhadap Turki untuk kegiatan pengeborannya di Mediterania Timur, termasuk larangan perjalanan dan pembekuan aset bagi mereka yang terlibat dalam perencanaan, mengarahkan dan melaksanakan kegiatan eksplorasi hidrokarbon lepas pantai.

Namun, Macron kembali meminta sanksi lebih lanjut untuk mencegah Turki melanjutkan kegiatannya, karena Ankara baru-baru ini mengeluarkan penasehat untuk survei seismik di zona maritim antara Siprus dan Kreta yang akan dilaksanakan sampai 2 Agustus.

Daerah itu terletak di dalam zona yang Turki telah menyatakan kepada PBB sebagai landas kontinennya, tetapi Yunani mengklaim survei itu akan mengganggu landas kontinennya sendiri.

Langkah-langkah Ankara di wilayah tersebut didasarkan pada kesepakatan maritim kontroversial yang ditandatangani tahun lalu dengan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya.

"Di bagian Mediterania ini, masalah energi dan keamanan sangat penting. Yang dipertaruhkan adalah perebutan kekuasaan khususnya Turki dan Rusia yang semakin menegaskan diri mereka sendiri, di mana Uni Eropa masih melakukan terlalu sedikit," kata Macron kepada awak media, Kamis (23/7).

"Ini akan menjadi kesalahan serius untuk meninggalkan keamanan kita di Mediterania di tangan aktor lain. Ini bukan pilihan bagi Eropa dan itu bukan sesuatu yang akan dibiarkan Prancis terjadi," sambungnya.

Wakil direktur Observo French-Russian Analytical Centre yang berbasis di Moskow, Igor Delanoe,mengatakan kepada Arab News,  hubungan antara Prancis dan Turki tidak akan membaik dalam waktu dekat, mengutip dukungan Prancis untuk Kurdi di Suriah, tindakan militer Turki di Libya, bersama dengan perselisihan tentang Mediterania Timur.

"Masih harus dilihat (jika) sikap Paris dapat diterjemahkan menjadi demonstrasi yang kuat di laut. Terus terang, saya tidak berharap Uni Eropa memulai kebuntuan semacam itu. Saya pikir Uni Eropa terutama Jerman terlalu takut akan kemungkinan pembalasan dari Turki, yang dapat mengakibatkan masuknya migran baru," katanya.

Seorang analis independen di Washington, Ruwan Al-Rejoleh  mengatakan, hubungan antara Turki dan Prancis telah memburuk secara besar-besaran sejak intervensi militer rahasia Turki di Libya bulan lalu.

"Mediterania Timur adalah medan perang energi baru, terutama untuk gas. Saya tidak berpikir akan ada peningkatan dalam hubungan. Turki bertekad memperluas pengaruh regionalnya di Afrika Utara melalui Libya dan tampaknya tidak mundur untuk memperluas pengaruh ini di Med Timur," katanya kepada Arab News.

"Pipa gas yang diselesaikan Turki dengan Rusia akan terhubung ke Nord Stream 2. Ini jelas akan berdampak pada hubungan Prancis dengan Jerman. Saya percaya bahwa kita akan menyaksikan lebih banyak ketegangan antara Turki dan Prancis, lebih banyak mobilisasi untuk menciptakan aliansi Eropa baru, dan memperdalam perpecahan di Uni Eropa sendiri," katanya.

KEYWORD :

Presiden Prancis Emmanuel Macron Uni Eropa Sanksi Turki




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :