Jum'at, 19/04/2024 06:40 WIB

Ilmuwan, Negarawan, dan Agamawan Harus Bersinergi Lawan Covid-19

Selain itu mereka juga tidak mempunya kemewahan untuk tidak keluar namun tetap mendapat fix income seperti kelas menengah.

LP3ES

Jakarta, Jurnas.com - Peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto, Ph.D menilai efektifitas melawan pandemi Covid-19 atau wabah Virus Corona sangat ditentukan oleh kebersamaan dan sinergitas antara ilmuan, negarawan, dan agamawan.

Menurut Wijayanto, musuh yang dihadapi dalam pertempuran ini adalah wabah Covid-19 dan waktu. Dan bagi Wijayanyo sesungguhnya lmu pengetahuanlah yang bisa mengalahkan mereka.

"Sayangnya, amanat dari ilmuwan dipahami dengan lambat oleh dua aktor lainnya (neharawan dan agamawan," jelas Wijayanto dalam sebuah diskusi terbatas via WhatsApp, Rabu (1/4/2020).

Ia menegaskan, kecepatan persebaran virus begerak dengan eksponensial, namun kecepatan cahaya ilmu pengetahuan untuk sampai dalam benak para politisi dan sebagian agamawan bergerak dengan sangat perlahan.

Bahkan pemerintah sempat menolak kenyataan dan ketika akhirnya merespon, dan respon itu pun berjalan lambat dan tidak konsisten. Pada saat yang sama, agamawan yang tidak peduli pada temuan science, sehingga ritual keagamaan yang melibatkan kerumunan masa masih berlangsung pada saat di mana seharunya isolasi dilakukan.

Dosen Fisip Undip, Semarang ini mengingatkan, medan perang sudah meluas dari Jakarta ke daerah-daerah bersama para pemudik yang pulang ke kampong halaman mereka.

Kata Wijayanto, mereka sebenarnya bukan mudik namun mengungsi karena pekerja informal itu tak dapat safety net dari Jakarta lantaran respon pemerintah yang telat.

"Para driver gojek, pedagang kaki lima, penjual bakmi keliling pulang ke kampung halamannya karea kelas menengah yang menjadi konsumen mereka tidak keluar rumah seperti biasanya," ungkap Wijayanto.

Ia pun menilak mereka yang pulang ke kampung halaman dari Jakarta yang merupakan episentrum Virus Corona ini serta merta bisa menjadi ODP yang bisa menimbulkan masalah yang lebih besar karena infratruktur rumah sakit di daerah jauh lebih tidak siap dibandingkan rumah sakit-rumah sakit di Jakarta yang juga mengalami hal serupa.

"Kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan satu keluhan dokter di Jakarta dan terutama di daerah," ungkapnya.

Wijayanto menyebut adanya persepsi Corona merupakan penyakit kelas menengah. Akibatnya, karantina jadi sulit sampai kepada masyarakat kelas bawah terutama yang ada di daerah. Pesan working from home, lock down, self isolation adalah istilah-istilah asing yang tidak dapat dipahami oleh masyarakat di perkampungan dan pedesaan.

Sehingga di daerah kehidupan masih berjalan seperti biasa. Perhelatan adat di kampung seperti hajatan pernikahan, khitanan dan arisan masih berjalan. Sholat jumat di masjid juga masih dilangsungkan.

"Selain itu mereka juga tidak mempunya kemewahan untuk tidak keluar namun tetap mendapat fix income seperti kelas menengah," jelasnya.

Kata Wijayanto, hal ini karena sebagian besar masyarakat kelas bawah yang bekerja di sector informal. Mereka tetap harus kerja buat makan dan bayar cicilan kredit kendaraan, yang membuat muncul persepsi bahwa corona adalah penyakit kelas menengah.

"Tak seperti kelas menengah yang takut corona, kelas bawah ini lebih takut tidak bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, seperti makan, susu anak dan membayar cicilan," jelas Wijayanto.

Oleh sebab itu, Wijayanto menilai perlu tindakan cepat dari pemerintah untuk memberi subsidi sembako dan kebutuhan dasar lainnya.

"Sayangnya respon Presiden terjadi sangat terlambat dan implementasinya lebih telat lagi," katanya.

Pidato presiden yang diikuti dengan penerbitan Perpu, Keppres dan PP misalnya, bagi Wijayanyo tidak mampu menjawa pertanyaan sederhana maysarkat: “apakah dengan demikian saya boleh telal mengangsur motor?”

Karena itu, ia menyebut dibutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, juga ilmuwan dan agamawan di daerah. Penyaluran bantuan harus dieksekusi dengan cepat misalnya dengan melibatkan civil society.

Ia juga menyebut kampus bisa digandeng untuk penyadaran termasuk penyaluran bantuan, sistem pendataan warga layak subsidi berbasis internet. Agamawan perlu solid dan satu suara, misalnya bukan hanya tidak menganjurkan namun juga melarang pelaksanaan shola Jumat baik di daerah yang zona hijau, kuning atau apalagi merah.


Terakhir, ilmuan politik ini juga menyebut lambatnya penanganan wabah corona oleh pemerintah dan tidak adanya pikiran alternative untuk menanganinya adalah buah dari ketiadaan oposisi pasca pilpres 2019.

Yang lebih menyedihkan, jelasnya, saat Indonesia berada di tengah bencana, elit politik masih tetap ngotot dengan agenda-agenda seperti pengesahan Omnibus Law dan Pemindahan Ibu Kota yang bahkan telah menimbulkan pertanyaan public di waktu normal, terlebih lagi di waktu di saat bencana seperti ini. Anggaran pemindahan ibu kota yang ratusan triliyun itu lebih baik dipindahkan untuk penanganan corona.

KEYWORD :

Virus Corona Ilmuan LP3ES




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :