Sabtu, 20/04/2024 18:44 WIB

Ancam Lingkungan dan Desentralisasi, Omnibus Law Harus Buka Partisipasi Publik

Partisipasi masyarakat itu sangat kecil jadi sangat minim, terutama yang terkait dengan kontrol kebijakan

Diskusi Reboan PKB

Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah menilai RUU Omnibus Law (Cipta Kerja) seperti membahas regulasi Sapujagat, karena ada ribuan pasal dan sekitar 80 Undang-Undang masuk di dalamnya.

"Menurut saya, secara umum ini akan berbahaya. Karena partisipasi masyarakat itu sangat kecil jadi sangat minim, terutama yang terkait dengan kontrol kebijakan," ujar Luluk dalam diskusi Reboan PKB di lantai 4 kantor DPP PKB, Jl Raden Saleh 9, Jakarta, Rabu (26/2/2020).

Diskusi Reboan PKB kali ini bertema "Omnibus Law, Mengancam Lingkungan Hidup dan Agraria?" Acara dibuka dengan pengantar Sekjen DPP PKB Hasanuddin Wahid, sedangkan pembicaranya Wamen KLH Alue Dohong, Guru Besar Hukum Agraria FH UGM Prof. Maria S.W Sumandjono, Direktir ICEL Raynaldo Sembiring, dan aktivis lingkungan Mahawan Karuniasa.

Luluk mengatakan, partisipasi masyarakat dalam mengawal Omnibus Law ini sangat penting, karena sejauh ini akses publik terhadap draf RUU Omnibus Law relatif sangat kecil.

"Kedua, seberapa banyak sih masyarakat yang tahu apa isi dan apa substansi dari Omnibus Law," ujarnya.

Politikus Perempuan PKB ini menilai, RUU Omnibus Law sangat krusial, karena terkait dengan aspek strategis bangsa. Misalnya perizinan dan dampak lingkungan. Jangan sampai lantaran Omnibus Law dan investasi, kemudia aspek lingkunga diabaikan.

Bagi Luluk, keseimbangan relasi antara alam lingkungan hidup dengan manusia jauh lebih penting dibanding Omnibus Law atau cipta kerja. Makanya jangan karena ingin membangun iklim investasi, lalu keseimbangan relasi alam semesta dan manusia diabaikan.

"Misalnya terkait dengan hukuman pidana bagi perbuatan melawan hukum, pengerusakan lingkungan. Tadinya dalam UU Kelestarian Lingkungan Hidup diatur bahwa setiap yang melakukan perusakan lingkungan hidup wajib ganti rugi dan melakukan tindakan tertentu. Jadi ada tanggung jawabnya. Nah ini terancam tidak ada lagi dalam Omnibus Law. Hanya ganti rugi saja," ungkapnya.

Luluk juga menyebut, dalam UU KLH sekarang ada aturan soal pertanggungjawaban mutlak bagi siapa pun, termasuk bagi korporasi yang melakukan pengrusakan lingkungan.

"Saya khawatir, aturan ini juga bisa dihilangkan dalam Omnibus Law dan diganti hanya denda saja. Tidak ada ancaman pemidanaan. Padahal pemidanaan ini yang menimbulkan efek jera," tukasnya.

Lebih jauh Luluk menilai Omnibus Law juga mengusik azas desentralisasi dan otonomi daerah yang lahir sebagai buah reformasi. Sebab dalam RUU Omnibus Law, kewenangan provinsi dan kabupaten/kota terkait perizinan dan pengelolaan lingkungan akan dihilangkan dan diambil alih menjadi kewenangan pemerintah pusat.

"Misalnya pertambangan, pemerintah daerah sudah enggak punya kewenangan, semuanya kan pemerintah pusat. Kemudian soal penguasaan lahan hutan juga kayak gitu," ungkap Luluk.

Ia pun bertanya, apakah nantinya pemerintah pusat mampu melakukan pengawasan, mengingat luas wilayah dan geografis Indonesia sangat besar dan beragam. Sementara semua harus diawasi sampai hal yang sifatnya sangat detail dan operasional.

"Desentralisasi muncul setelah reformasi karena ada kritik terhadap sentralistik kekuasaan sebelumnya, sehingga muncullah otonomi daerah dan desentralisasi," kata Luluk.

"Tetapi sekarang, hanya karena ingin ciptakan iklim investasi, kemudian mendatangkan investor yang lebih banyak, maka prinsip-prinsip reformasi ini yang justru mau diamputasi," cetusnya.

Pada kesempatan sama, Guru Besar Hukum Agraria FH UGM
Prof. Maria S.W Sumandjono mengatakan, ide RUU Omnibus Law ini harus ditelaah karena niat baik tak selalu terlaksana menjadi kenyataan yang baik, kalau pembuatnya asal-asalan.

Ia pun bertanya, kenapa dinamakan RUU Omnibus Law dengan judul Cipta Kerja. Dan kenapa didalamnya fokus pada investasi.

"Kalau kita bilang UU Cipta Investasi kan terlalu jelas banget karpet merahnya buat siapa (investor)," ujarnya.

Ia menilai, salah satu unsur investasi adalah tenaga kerja, maka tenaga kerja diangkat agar tak terlalu kelihatan.

Maria menambahkan, Indonesia punya target atau cita-cita, bahwa pada 2045 menjadi 5 besar kekuatan ekonomi dunia. Dan 2040 menjadi negara berpendapatan tinggi di dunia. Maka, mengkebut investasi, secara logika masuk akal.

Sebenarnya, kata Maria, Omnibus Law ini RUU biasa, cuma metode masuknya yang tak biasa. Yakni dengan memotong, menambah, mengurangi sekitar 80 lebih UU terkait lainnya.

"Maka yang order dan ikut nimbrung dalam Omnibus Law bantak sekali," tegas Maria.

KEYWORD :

RUU Omnibus Law Diskusi Reboan Luluk Nur Hamidah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :