Kamis, 25/04/2024 21:46 WIB

Polemik Perda KTR, Pemkot Bogor Dinilai Hanya Kejar Target

Perda KTR Bogor dianggap eksesif dan sangat membatasi perekonomian masyarakat, terutama pedagang kecil, lewat aturan-aturan yang melebar, melebihi regulasi di atasnya

Kawasan Tanpa Rokok (Foto: Bulletin Metropolis)

Jakarta, Jurnas.com – Berbagai kritik kembali dilayangkan oleh sejumlah pihak atas pemberlakuan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018. Perda tersebut dianggap eksesif karena membatasi perekonomian masyarakat dan Pemerintah Kota Bogor dinilai hanya kejar target.

Protes atas pemberlakuan perda tersebut sebelumnya dilakukan oleh sejumlah pedagang di Kota Bogor, yang memperjuangkan hak ekonomi mereka melalui jalur konstitusi. Mereka melayangkan gugatan uji materi Perda KTR Nomor 10 Tahun 2018 ke Mahkamah Agung pada 5 Desember 2019.

Tokoh pemuda Kota Bogor, Rommy Prasetya mengungkapkan gugatan yang dilakukan oleh kelompok pedagang adalah upaya yang harus didukung dan diapresiasi.

Ini karena Perda KTR Bogor dianggap eksesif dan sangat membatasi perekonomian masyarakat, terutama pedagang kecil, lewat aturan-aturan yang melebar, melebihi regulasi di atasnya.

“Teman-teman pedagang menyampaikan aspirasinya lewat jalur yang benar. Judicial review ini sekaligus evaluasi buat Pemkot Bogor, jangan hanya bikin perda untuk kejar target,” ujar Rommy, Selasa (4/2/2020).

Perda KTR Bogor yang mengundang polemik ini, sebut Rommy, adalah bentuk kecerobohan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor yang tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan, yang kemudian langsung berdampak.

Tanpa kajian dan partisipasi dari masyarakat yang berdampak langsung atas regulasi ini, Rommy tak terkejut bila di kemudian hari, Perda KTR Bogor meresahkan masyarakat, termasuk warga di daerah lain.

”Walaupun di Bogor tidak ada petani tembakau, bukan berarti otomatis Perda KTR dibuat tanpa data faktual. Harus ada transparansi data mengenai jumlah perokok aktif, konsumen, pedagang dan pelaku usaha sehingga mengacu pada kajian itu, tidak ada yang dirugikan atas regulasi ini,” papar Rommy.

Keresahan pedagang yang ditumpahkan lewat aksi menggugat, lanjut Rommy, adalah bentuk ketimpangan dari Perda KTR Bogor. Dia menilai ada poin-poin yang kurang relevan dan menekan pedagang kecil.

“Misalnya, poin pelarangan pemajangan rokok. Lah, ke depannya pedagang eceran yang banyak itu mau dikemanakan, solusinya seperti apa? Harusnya belajar dari negara lain, bikin peraturan yang komprehensif,” ujarnya.

Poin-poin yang kontra dalam Perda Nomor 10 Tahun 2018 terkait pelarangan display rokok, mulai dari peritel hingga kelontong, penetapan kawasan larangan merokok yang luas namun tanpa kajian dan tidak diimbangi dengan penyediaan fasilitas bagi perokok.

Kritik senada juga disampaikan oleh Pengamat Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prima Gandhi. Dia menegaskan bahwa lahirnya Perda KTR Bogor ini jangan sampai dibuat asal-asalan alias tidak melalui kajian ilmiah. Perda yang diproduksi haruslah sesuai prosedur dan selaras dengan kondisi aktual di lapangan.

“Harus ditegaskan bahwa proses perda itu, melibatkan stakeholder. Harus konsisten, jangan sampai hanya kejar target, tapi implementasi tak berjalan,” katanya.

Pelaku ekonomi, tambah Prima Gandhi, juga membutuhkan kejelasan mengapa ada inkonsistensi dalam penerapan regulasi ini. Sebab, beberapa gerai ada yang dibiarkan memajang produk, sementara sebagian tidak. Selain itu, fasilitas sebagai daya dukung kawasan larangan merokok, haruslah dipenuhi oleh Pemkot Bogor.

“Jangan sampai peraturan dibuat justru menjadi alat politisasi, yang terkena dampaknya adalah masyarakat yang hanya ingin mandiri ekonominya,” tutup Prima Gandhi.

KEYWORD :

Kota Bogor Perda KTR rokok




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :