Sabtu, 27/04/2024 04:06 WIB

Ada Penyesatan Informasi dari Produk Susu Kental Manis

Susu Kental Manis (SKM) bukan merupakan asupan gizi pengganti ASI, apalagi disajikan dalam gelas

Fokus Group Discussion (FGD) "Hasil Penelitian Kebiasaan Konsumsi Susu Kental Manis dan Dampak Terhadap Gizi Buruk Anak" yang diselenggarakan di aula Kantor PP Aisyiyah, Jakarta, Selasa (26/11).

Jakarta, Jurnas.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengakui bahwa Susu Kental Manis (SKM) bukan merupakan asupan gizi pengganti ASI, apalagi disajikan dalam gelas. Karenanya, persepsi masyarakat tentang SKM yang selama ini menganggap memiliki kandungan gizi tinggi harus diluruskan. Artinya, ada penyesatan informasi dari para produsen SKM di masyarakat selama ini.

Penemuan tersebut merupakan benang merah dari Fokus Group Discussion (FGD) "Hasil Penelitian Kebiasaan Konsumsi Susu Kental Manis dan Dampak Terhadap Gizi Buruk Anak" yang diselenggarakan di aula Kantor PP Aisyiyah, Jakarta, Selasa (26/11).

Temuan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Abhipraya Insan Cendikia Indonesia (YAICI) bersama dengan PP Aisyiyah yang dilakukan di 3 wilayah dengan angka stunting tertinggi, yaitu Aceh (Banda Aceh, Pidi, Aceh Tengah), Kalteng (Palangkaraya, Kota Waringin Timur, Barito Timur), dan Sulut ( Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondaw Utara, Manado) tentang kebiasan konsumsi susu kental manis/krimer kental manis dan dampak terhadap gizi buruk.

Hadir dalam acara ini sebagai penanggap dari Kementerian Kesehatan R.I, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Pengamat Kebijakan Publik, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Koalisai Peduli Kesehatan Masyarakat (KOPMAS), dan media massa.

Ada sambutan positif dari para penanggap terkait hasil survei yang dilakukan YAICI bersama dengan PP Aisyiyah. Bahkan dari pihak Kemenkes dan BPOM akan menjadikan hasil survei ini sebagai masukan untuk membuat kebijakan yang lebih baik lagi terkait SKM. Hasil survei menyimpulkan adanya temuan kasus gizi buruk dan gizi kurang pada usia bayi dan balita yang mengonsumsi SKM setiap hari.

Dari 1.835 anak yang terdata, sebanyak 12% mengalami gizi buruk, 23,7% gizi kurang. Anak yang berstatus gizi buruk ditemukan pada anak usia 5 tahun sebanyak 28,8%, dan gizi kurang pada anak usia 3 tahun (32,7%).

Chairunnisa, Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, yang menjadi narasumber dalam FGD itu mengatakan angka itu cukup tinggi di tengah masifnya upaya promosi edukasi kesehatan anak dan keluarga yang dilakukan oleh pemerintah, akademisi, dan kalangan swasta. Temuan serupa juga disampaikan KOPMAS.

Narasumber lainnya Arif Hidayat, Ketua Harian YAICI, mengatakan masyarakat masih menganggap SKM sebagai susu karena adanya penyampaian iklan yang salah dari produsen. Dia mengutarakan iklan SKM yang menyesatkan masyarakat itu bahkan sudah dilakukan sejak tahun 1992.

“Apalagi iklan itu memvisualisasikan balita dan keluarga harmonis yang seakan-akan mengasumsikan bahwa SKM itu minuman bernutrisi. Karenanya, perlu kerja sama semua pihak untuk memutuskan mata rantai salah persepsi nasyarakat terhadap SKM," ucapnya.

Rian Anggraeni dari Direktorat Gizi Masyarakat Kemenkes menegaskan meskipun SKM jadi campuran terlezat untuk makanan manis, tapi SKM tidak cocok untuk anak di bawah usia 3 tahun yang masih membutuhkan lemah dan protein tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangan.

Wulan Sadat dari BPOM menambahkan bahwa SKM iti bukan susu produk hewani yang bergizi tinggi. Karena menurutnya,  SKM dibuat dengan cara menguapkan sebagian air dari susu segar (50 persen) dan ditambah dengan gula 45-50 persen. "Jadi bukan lagi menjadi minuman bergizi utama balita. SKM itu hanya cocock sebagai toping untuk pelengkap makanan," katanya.

Dia juga menegaskan bahwa anggapan SKM sebagai pengganti ASI merupakan persepsi yang sangat salah. Wulan juga menyampaikan terimakasihnya atas penelitian YAICI bersama dengan PP Aisyiyah yang menemukan bahwa SKM juga telah menyebabkan gizi buruk dan kurang baik terhadap anak-anak berusia 3 dan 5 tahun.

"Ini akan menjadi masukan dan kajian bagi kami dalam membuat peraturan terkait SKM ke depan," tutur Wulan.

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengatakan seharusnya sesuatu yang menyesatkan masyarakat tidak ada dalam iklan SKM ini. Dia melihat iklan SKM selama ini punya kecenderungan menampilkan visual dan nutrisi yang tidak lengkap. 

"Seharusnya dalam spot peringatan di iklannya harus ada kata-kata bahwa SKM ini tidak cocok untuk bayi," tuturnya. 

Komisioner KPAI, Sitti Hikmawatty, mengatakan, selain menggunakan kata secara tegas, produsen SKM juga tidak menggunakan Bahasa Inggris misalkan "not recommended for" dalam kemasan produk.

"Gunakan bahasa yang tegas `dilarang`. Kemudian bagi mereka yang tidak bisa baca, cukup dengan gambar yang tegas seperti larangan iklan rokok, `tidak dilarang merokok`, tapi ada gambar rokok, coret," ujar Sitti.

Pengamat Kebijakan Publik, yang diwakili Sofie,  menyoroti soal label pangan olahan seperti SKM yang perlu diperhatikan dan soal multitafsir dari hidangan tunggal SKM dan aturan viaualisasi anak. "Ini perlu diatur pengawasannya dan sanksinya harus tegas," ucapnya.

 

 

 

KEYWORD :

Susu Kental Manis Kementerian Kesehatan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :