Sabtu, 20/04/2024 02:47 WIB

Fenomena Bajakah Tergolong Pseudosains?

Apakah penemuan akar bajakah untuk pengobatan kanker digolongkan sebagai sains, atau justru pseudosains?

Ilmuwan Indonesia yang berkarir di Technische Universität Braunschweig, Jerman, Hutomo Suryo Wasisto (Foto: Muti/Jurnas)

Jakarta, Jurnas.com – Fenomena penemuan akar bajakah yang diyakini sebagai obat penyembuh kanker stadium lanjut, sejak awal langsung menuai beragam respon di tengah masyarakat.

Ada yang menggunakan jurus aji mumpung, mengomersialkan ketercengangan masyarakat terhadap temuan unik ini, dengan cara memasarkan tanaman tersebut di sejumlah lapak jual-beli di internet, ditambah embel-embel obat kanker.

Tapi di sisi lain, tak sedikit pula yang menahan diri sembari memperingatkan, bahwa hasil temuan tiga siswa SMA Negeri 2 Palangka Raya itu belum teruji pada manusia.

Pertentangan lainnya yang tak kalah menarik ialah, apakah penemuan akar bajakah untuk pengobatan kanker digolongkan sebagai sains, atau justru pseudosains?

Diaspora Indonesia yang berkarir di Technische Universität Braunschweig, Jerman, Hutomo Suryo Wasisto menjelaskan, sebuah temuan bisa digolongkan sebagai sains dan pseudosains. Penemuan sains ialah penemuan yang dilakukan secara terorganisasi, sistematis, dan diuji melalui metode saintifik yang baku.

Sebaliknya, pseudosains atau sains palsu (fake science) ialah penemuan yang dibuat seolah-olah terkesan seperti penemuan sains. Bisa pula, pseudosains berasal dari sebuah percobaan sains yang gagal, lalu dirasionalisasikan dengan segala macam cara.

Ada banyak fenomena pseudosains yang terjadi di sekitar masyarakat, kata Wasisto. 10 tahun lalu, Indonesia digegerkan oleh penemuan teknologi banyugeni yang konon dapat mengonversi air menjadi bahan bakar.

Proyek bernama ‘Jodhipati’ itu akhirnya tiarap, karena terbukti merupakan proyek tipu-tipu. Anggaran Rp1 miliar dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pun melayang.

Beberapa tahun kemudian, pada 2014 penemuan menghebohkan kembali muncul. Buah merah dari Papua diyakini dapat mengobati HIV/AIDS. Seperti halnya bajakah, buah merah ini langsung komersial di internet.

Selang beberapa waktu kemudian, harapan masyarakat mendapatkan obat HIV/AIDS dari buah merah pupus. Para ekspertis dari dunia medis menegaskan bahwa buah tersebut hanya bermanfaat sebagai antioksidan. Tidak lebih.

Nah, agar tidak kadung terjerat dengan temuan-temuan semacam ini, Wasisto mengajak masyarakat Indonesia untuk berpikir saintifik. Menumbuhkan pikiran kepo, menurut dia penting di tengah derasnya arus informasi dewasa ini.

“Kita bukan skeptis dengan semua teknologi. Tapi sebagai saintis, kita tidak memandang bahwa semua orang bisa melakukan sains,” kata Wasisto saat ditemui di sela-sela kegiatan `Diaspora Talks` di Kantor Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) Jakarta, pada Selasa (20/8).

“Sebagai orang Indonesia juga harus bisa memfilter. Apalagi yang berasal dari media sosial. Kita harus tahu dari mana asalnya, siapa yang ngomong, dan bagaimana prosesnya. Harus tau semuanya,” imbuh ilmuwan yang bekerja sebagai Research Group Leader atau setara asisten profesor di Laboratory for Emerging Nanometrology (LENA) and Institute of Semiconductor Technology (IHT), Technische Universität Braunschweig, Jerman ini.

Sedangkan menjawab akar bakajah yang viral akhir-akhir ini, Wasisto belum menggolongkan temuan tersebut sebagai pseudosains. Dia menyebut, akar bajakah masih harus melalui sejumlah proses pengujian, eksperimen, dan penerapan metode-metode saintifik di laboratorium, oleh para ahli di bidangnya.

“Harus masuk laboratorium dan proses lainnya, untuk melihat apakah benar ada kandungan yang bisa mengobati sel kanker itu. Menurut saya ini harus dilakukan. Kalau tidak bahaya, nanti orang asal konsumsi,” tutur Wasisto.

Untuk penelitian lanjutan itu, Wasisto mengatakan Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti (SDID) Kemristekdikti Ali Ghufron Mukti bersama para diaspora Indonesia lainnya berjanji akan menjembatani para siswa peneliti dengan sejumlah ahli di bidang farmasi dan biologi kesehatan. Dia memandang, bibit-bibit ilmuwan muda ini harus dijaga agar tidak hilang ditelan waktu.

“Bahkan kalau bisa dikembangkan ini bisa maju sekali. Indonesia akan jadi pusat penemuan itu. Saya katakan, bajakah itu tidak mustahil, tapi butuh proses. Tapi kalau ternyata pasa prosesnya gagal, orang-orang harus menerima. Itu gentleman namanya,” tandas pria kelahiran Yogyakarta tersebut.

KEYWORD :

Tanaman Bajakah Diaspora Indonesia Hutomo Suryo Wasisto




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :