Sabtu, 20/04/2024 01:13 WIB

Kanker Usus Besar Tak Dicover BPJS, Rekan Indonesia Akan Demo Kemenkes

Bevasizumab adalah obat untuk menghambat pertumbuhan kanker, sementara Cetuximab adalah obat untuk mengobati kanker kolorektal (

Rekan Indonesia

Jakarta, Jurnas.com - Keputusan menteri kesehatan (menkes) yang tertuang dalam Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/707/2018 yang isinya adalah penghapusan jaminan 2 jenis obat kanker usus yaitu bevasizumab dan cetuximab membuktikan matinya kemanusiaan di diri menkes.

Bevasizumab adalah obat untuk menghambat pertumbuhan kanker, sementara Cetuximab adalah obat untuk mengobati kanker kolorektal (kanker usus besar) yang jelas sangat dibutuhkan oleh penderita kanker dan kanker usus besar.

Ironisnya, penghapusan ini dilakukan demi efesiensi dana jaminan kesehatan yang dkelola oleh BPJS dengan berkedok alasan medis.

"Menkes sama sekali tidak memikirkan bagaimana nasib rakyat miskin yang menderita kanker dan kanker usus besar? Bagaimana dengan peserta BPJS yang PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang jelas adalah rakyat miskin bisa membeli 2 jenis obat tersebut yang harganya mencapai jutaan rupiah?" kata Ervan Purwanto, Sekretaris Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia), pada Selasa (26/2).

Padahal, lanjut dia,bkonsepsi BPJS adalah menjamin persamaan hak pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, berkualitas dan terjangkau. Apalagi sebagai peserta BPJS telah menjalankan kewajiban dengan membayar iuran baik secara mandiri maupun PBI.

"Menjadi sebuah pertanyaan yang mendasar adalah jika obat tersebut dianggap tidak efesien karena harganya yang mahal untuk ditanggung BPJS maka bagaimana negara menilai hidup pasien kanker yang membutuhkan obat tersebut?" imbuh dia.

Ervan melanjutkan, keputusan menteri kesehatan merugikan pasien dan memberikan citra buruk bagi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan bertendensi mendorong BPJS semakin ke arah asuransi bisnis bukan lagi sebagai jaminan sosial di kesehatan.

Menurut Ervan, Menkes dalam proses evaluasi atau Health Technology Assessment (HTA) yang digunakan kemenkes untuk mengambil keputusan menghapus jaminan terhadap obat kanker ini memiliki banyak kekurangan, dimana dokter yang memiliki pengetahuan mendalam tentang kanker usus tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut.

"Jelas keputusan tersebut diambil di luar klinis sementara dokter memiliki tanggungjawab terhadap pasien yang keadaannya dapat memburuk jika tidak diberikan obat tersebut," jelas Ervan.

Perlu diketahui sebelumnya Kemenkes juga mengeluarkan keputusan bahwa obat kanker payudara trastuzumab tidak lagi ditanggung oleh BPJS, keputusan ini lalu menimbulkan perlawanan dari pasien kanker payudara yang melakukan gugatan secara hukum ke Pengadilan Jakarta Selatan.

Dan akhirnya Kemenkes mengambil jalan damai dengan mengembalikan obat trastuzumab kembali dijamin oleh BPJS dengan persyaratan tertentu atau restriksi.

Ervan menjelaskan bahwa bagi Rekan Indonesia keputusan menkes tersebut jelas telah melukai rasa kemanusiaan, menkes seakan akan tidak pernah memikirkan nasib rakyat miskin pengguna JKN yang jelas jelas tidak akan mampu membeli obat tersebut. Sehingga dugaan demi efesiensi dana BPJS dengan keluarnya keputusan tersebut.

"Kami menduga kuat adanya upaya pemerintah untuk semakin mendorong BPJS sebagai asuransi murni bukan lagi sebuah jaminan sosial di kesehatan yang menjadi kewajiban negara untuk melindungi dan menjamin kesehatan rakyatnya sesuai dengan UUD 45," tegas Ervan.

Ervan juga mengutarakan bahwa Rekan Indonesia dengan tegas menolak KEPMENKES NOMOR HK.01,07/MEKES/707/2018 karena merugikan rakyat miskin penderita kanker usus besar.

"Dan kami akan menggelar demo menuntut pembatalan tersebut hari kamis di kantor Kemenkes Jakarta," ujar Ervan mengakhiri siaran persnya.

KEYWORD :

Bpjs kesehatan kanker usus




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :