Sabtu, 20/04/2024 12:00 WIB

PBB Prihatin Meningkatnya Konflik di Myanmar

Seorang pakar PBB menyatakan keprihatinannya atas meningkatnya konflik di Rakhine utara dan tengah dan Negara-negara Chin pada hari Jumat

Pengungsian Rohingnya Myanmar

Jakarta - Seorang pakar PBB menyatakan keprihatinannya atas meningkatnya konflik di Rakhine utara dan tengah dan Negara-negara Chin pada hari Jumat, menyerukan perlindungan warga sipil di wilayah tersebut.

Dalam pernyataan Yanghee Lee, pelapor khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan bahwa sejak November 2018 warga sipil tewas dan terluka dalam bentrokan antara tentara Myanmar, yang juga dikenal sebagai Tatmadaw dan Tentara Arakan.

Tentara Arakan dibentuk pada 2009 dengan tujuan untuk mencapai “penentuan nasib sendiri bagi rakyat Arakan”, merujuk pada mayoritas etnis Buddha di negara bagian tersebut.

Lee mengatakan bahwa konflik itu juga menyebabkan pemindahan sedikitnya 5.000 orang, tanpa memberikan angka tentang korban sipil.

"Kedua belah pihak harus mengambil tindakan pencegahan dan memastikan perlindungan warga sipil," katanya mengutuk serangan Tentara Arakan pada 4 Januari di empat pos Polisi Penjaga Perbatasan dilansir aa.

"Tidak dapat diterima bagi Tatmadaw dan Tentara Arakan untuk melakukan permusuhan dengan cara yang berdampak pada warga sipil," tambahnya.

Lee mengatakan bahwa tentara Myanmar mengerahkan sejumlah besar pasukan ke wilayah itu setelah serangan tersebut.

Pakar PBB mengatakan bahwa senjata berat dan artileri, helikopter digunakan di daerah sipil, yang menyebabkan cedera dan kematian warga sipil.

"Apa yang terjadi di Rakhine mengingatkan saya pada taktik yang digunakan oleh Tatmadaw terhadap populasi etnis selama beberapa dekade," katanya.

"Semua orang di Negara Bagian Rakhine, termasuk Rakhine, Mro, Daignet, Hindu dan Rohingya, telah cukup menderita," tambahnya.

Kekerasan terhadap orang-orang Rakhine berlanjut, Lee mengatakan dia sangat prihatin dengan retorika berbahaya yang digunakan oleh pemerintah Myanmar.

Lee mendesak pemerintah untuk tidak memblokir bantuan kemanusiaan ke wilayah Rakhine.

"Saya mengingatkan Pemerintah dan Tatmadaw bahwa memblokir akses kemanusiaan adalah pelanggaran serius hukum humaniter internasional," tambahnya.

Negara bagian Rakhine barat Myanmar adalah rumah bagi komunitas Muslim Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang yang paling teraniaya di dunia.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penumpasan pada komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.

Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah terbunuh oleh pasukan negara Myanmar, menurut Ontario International Development Agency (OIDA).

Lebih dari 34.000 Rohingya juga dilemparkan ke dalam api, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, kata laporan OIDA, seraya menambahkan bahwa 17.718 (± 780) wanita dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar. Lebih dari 115.000 rumah Rohingya juga dibakar dan 113.000 lainnya dirusak, tambahnya.

Dalam sebuah laporan, Badan Pengungsi PBB mengatakan hampir 170.000 orang meninggalkan Myanmar pada tahun 2012 saja.

PBB telah mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar. Dalam sebuah laporan, penyelidik PBB mengatakan pelanggaran seperti itu mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

KEYWORD :

Pakar PBB Konflik Myanmar




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :