Kamis, 18/04/2024 16:16 WIB

Disparitas Pusat dan Daerah Ganjalan Zonasi Guru

Di saat pusat berkeinginan adanya pemerataan kualitas pendidikan melalui zonasi guru, pelaksanaan kebijakan di daerah belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.

Guru dalam HUT PGRI ke-73 di Stadion Pakansari, Bogor

Jakarta – Kesenjangan alias disparitas pusat dan daerah masih menjadi pekerjaan rumah dalam pengimplementasian zonasi guru. Di saat pusat berkeinginan adanya pemerataan kualitas pendidikan melalui zonasi guru, pelaksanaan kebijakan di daerah belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.

Seperti disampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, dia menyebut pemerintah pusat tak berdaya dalam melakukan pendistribusian guru, baik yang berada di level PAUD, pendidikan dasar, hingga menengah.

Karena seperti diketahui, kewenangan guru terpecah-pecah. Guru SD dan SMP di bawah pemerintah kabupaten/kota, sedangkan guru SMA di bawah kewenangan pemerintah provinsi.

“Selama guru menjadi kewenangan daerah, sulit melaksanakan kemerataan daerah dengan sistem zonasi,” kata Unifah dalam diskusi pendidikan bertajuk ‘Menata Guru dengan Sistem Zonasi: Mulai dari Mana?’, di Gedung Kemdikbud Jakarta pada Senin (10/12).

Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifuddian. Menurutnya, karena 64 persen dari total Rp492,5 triliun dana pendidikan lari ke daerah dalam bentuk transfer daerah, maka seharusnya daerah menjadi memegang peranan kunci dalam pemerataan kualitas pendidikan.

“Seorang guru, apalagi PNS jika ada di satu tempat lebih dari lima tahun, maka pemda harus menjamin rotasi itu terjadi. Maka tidak ada lagi alasan daerah tidak ikut merestribusi guru,” terang Hetifah.

Namun, lanjut Hetifah, yang terjadi di daerah banyak ditemui ketimpangan. Dalam kaitannya dengan distribusi guru, dia menyebut masih banyak sekolah yang komposisi antara guru PNS dan honorernya sangat timpang.

“Banyak sekolah yang hanya punya satu PNS, yaitu kepala sekolahnya saja. Sebaliknya, di daerah lain ada sekolah kelebihan guru. Dan mereka enggan dipindahkan,” ungkapnya.

“Maka Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Red) harus melakukan koordinasi dengan daerah agar ada acceptance dan trust dari publik,” imbuhnya lagi.

Sementara praktisi pendidikan dan Dewan Pendidikan Jakarta Timur Robertus Budi Setiono mengatakan, hubungan pusat dan daerah dalam pelaksanaan zonasi guru seharusnya seperti sebuah korporasi besar.

Sebagai perusahaan pusat, Kemdikbud seyogyanya memiliki kewenangan untuk distribusi ke daerah-daerah yang kualitas pendidikannya masih rendah, dan mengalami kekurangan guru.

“Tentunya harus ada kesejahteraan bagi guru yang dikirim ke daerah, terutama daerah 3T. Contoh, perusahaan mengirim ke daerah dan cabang, ada namanya tunjangan kebodohan. Sistem ini mirip-mirip,” terang Robertus.

“Ada guru dididik di kota, tapi disuruh ke 3T. awalnya mungkin happy, tapi setelah 2 tahun bisa unhappy,” lanjutnya.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menyebut sudah beberapa kali mengundang kepala dinas kabupaten/kota untuk duduk bersama untuk memastikan kebijakan zonasi guru berjalan lancar. Malah, kata Mendikbud, 2.570 zona yang sudah ada saat ini berasal dari usulan daerah.

“(Masalah) guru ini lebih berat lagi. Karena mereka adalah pegawai daerah, sementara daerah macam-macam kondisinya, tidak semuanya paham bagaimana harus memperlakukan guru,” kata Muhadjir.

KEYWORD :

Zonasi Guru Muhadjir Effendy




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :