Depresi yang dialami perempuan paska-melahirkan masih serupa gunung es (Foto: Ilustrasi)
“Saya ingin para ibu yang mengalami hal yang serupa tidak merasa sendirian, tidak menganggap diri sebagai ibu yang jahat, buruk, kurang beriman atau hal-hal mistis seperti kemasukan Jin” (Nur Yanayirah, Penyintas Post Partum Depression)
Masih ingatkah Anda? Kasus mutilasi yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya di Cengkareng Minggu (2/10/2017) lalu yang mengejutkan publik termasuk para ibu.Belum hilang ingatan kita akan peristiwa seorang ibu membunuh ketiga anaknya di Bandung. Hal tersebut ternyata dipicu oleh gangguan depresi pada sang ibu akibat luka masa kecil karena sering dibandingkan di keluarganya.
Salah seorang relawan Mother Hope Indonesia -Grup yang concern pada masalah PPD- Ayas Ayuningtyas mengatakan bahwa setiap orang berpotensi mengalami depresi.mengisi psiko-edukasi,” lanjut Lia.Awalnya ia belum ada gambaran seperti apa mekanisme sharing melalui di grup, ternyata bisa dengan banyak cara, mulai direkam, diperdengarkan bersama para admin. “Karena jumlah member grup belum banyak kita masih bisa buat pertemuan kecil di sebuah resto,” ungkap Lia.Lia dan Yana banyak sharing mengenai masa kecemasan kehamilan dan psikoedukasi ke bidan. Dari situ semakin banyak kegiatan, dan mulai banyak ibu-ibu yang bergabung.
“Tujuan kami bukan mendiagnosa, hanya memberikan edukasi dan membantu untuk para ibu yang sedang hamil dan paska-melahirkan. Biasanya baby blues atau depresi muncul saat punya anak pertama, meski di beberapa case juga ada yang menimpa saat lahir anak kedua dan seterusnya,” tutur pecinta traveling ini.
Mereka Ada untuk Menerima Secara umum, MHI komunitas yang membantu memfasilitasi antara member atau masyarakat dengan para ahli, baik psikolog atau psikiater. MHI tidak menangani secara langsung masalahnya tetapi membantu merekomendasikan, mengantar mereka pada ahli yang sesuai dengan kebutuhan member. Tetap segala keputusan ada pada member, apakah mereka tetap menjalani prosesnya atau berhenti pada titik ia mengenal MHI.Pasien yang tertangani itu ada yang sudah pulih ada yang belum. Jika di-rerata seminggu empat kali yang terfasilitasi, pendampingan aktif selama 6 bulan. Seminggu ada 4 kali dengan 4 orang kali 4 ada 16 orang, sekira ada 100 orang untuk 1 pendampingan. Total sekitar 700 member yang terdampingi, yang mau speak-up atau berani bicara mengapa ia mau didampingi.“Gambarannya seperti ini, masalah-masalah yang difasilitasi MHI, awalnya kita tampung, lalu masalah yang sudah kita listing diarahkan ke psikolog atau konselor ditangani. Setelah masuk pada ahli banyak member yang akhirnya bisa pulih, bisa bangkit dan bisa berdaya guna untuk dirinya sendiri,” papar Lia.Setelah diarahkan, mereka datang ke ahli yang tidak memahami lalu mereka di arahkan untuk untuk mencari. Misalnya dalam kondisi genting, mencari yang terdekat untuk bisa menolong. Ada kasus di Papua sempat mau datang, karena di sana tidak menemukan. Di jayapura dan kalimantan, ada ahli di sana tapi tidak bisa datang. Kalau saya tidak bisa banyak. Proses jarak jauh, terapi yang dilakukanterbatas.
Lia dan tim di MHI tidak bisa memungkiri, bahwa kalau menangani masalah kesehatan mental ini soal proses, tergantung pada individu ini sendiri. Seberapa kuat mereka mau mencari informasi, rutin terapi, dan menjalani tahap demi tahapnya. Kadang prosesnya lama, karena susah menemukan jadwal yang sesuai.“Saya secara pribadi harus ketemu, misalnya jika ada member ada yang mau bunuh diri, tapi begitu konsultasi rutin, sebetulnya ibu ini sangat kuat untuk pulih mencari informasi, apa yang saya minta dia lakukan. Akhirnya informasi dari dia tidak punya keinginan bunuh diri, bahkan bisa berdaya guna untuk keluarga,” ujarnya.Meski demikian kalau jadwal tidak cocok kita rajin menghubungi juga. Yang seperti ini jarang, ada juga yang datang terapi, datang menangis, kemudian hidup merasa berwarna warni. Tergantung orangnya juga, ada juga yang datang dari jauh dan punya keinginan sembuh, mau melakukan apa yang diminta. Tak sedikit pula yang tidak dilanjutkan.Konsultasi atau pendampingan biasanya via online, karena tidak memungkinkan datang ke Jakarta. “Walaupun terbatas, saya berikan edukasi dan minta dia melakukan hal tertentu terkait masalahnya. Perlu digarisbawahi, kami tidak mencampuri urusan pribadi sebatas memberikan insight dan jika ada tindakan yang bisa dilakukan selama proses pendampingan,” jelasnya.Misalnya membuat tulisan, atau manajemen napas (terapi jarak jauh), visualisasi tertentu. Jarak dekat ada psikoterapi dan konseling prosesnya lebih cepat. Terapi berbagai macam tergantung kondisi orang dan karakternya, misal ada orang yang tidak bisa menggunakan hypnotherapi ada yang bisa. (Bersambung) KEYWORD :
Depresi Kehamilan Melahirkan