
Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif Nur Alam (kanan) bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta
Jakarta - Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam didakwa telah memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi dalam jabatannya sebagai Gubernur. Nur Alam melakukan perbuatan melawan hukum dalam memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi, serta persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).
Hal itu diungkapkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan surat dakwaan terdakwa Nur Alam di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (20/11/2017). Perbuatan melawan hukum tersebut telah memperkaya Nur Alam sebesar Rp 2,7 miliar, PT Billy Indonesia sebesar Rp 1,5 miliar, dan merugikan negara sebesar Rp 4,3 triliun. Nur Alam didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP."Terdakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara," ucap Jaksa Afni Carolina.Baca juga.. :
Atas arahan Nur Alam, Rifani menyerahkan dokumen terkait PT AHB kepada Widdi Aswindi. Widdu diketahui merupakan konsultan pemenangan Nur Alam saat mencalonkan diri sebagai gubernur. Rifani setelah itu menyerahkan dokumen perusahaan PT AHB kepada Kepala Bidang Pertambangan Umum Dinas ESDM Provinsi Sultra tahun 2008-2013, Burhanuddin. Mengacu dokumen itu, Burhanuddin kemudian membuat surat permohonan IUP eksplorasi atas nama PT AHB. Kemudian Rifani membawa surat permohonan itu untuk ditandatangani oleh Direktur Utama PT AHB M Yasin Setiawan Putra. Draf surat permohonan itu, kata jaksa, mencantumkan tanggal mundur (backdated), yakni tanggal 28 November 2008.