
DPD RI
Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga pengawal aspirasi daerah telah tercemar dengan masuknya kalangan pengurus partai politik di dalamnya. DPD pun tak jauh beda dengan DPR sebagai lembaga perwakilan yang dipilih melalui partai politik.
Setidaknya terdapat 70 anggota DPD yang juga menjadi pengurus partai (lebih dari 50%). Bahkan Ketua DPD kontroversial Oesman Sapta Odang (OSO) adalah ketua umun Partai Hanura."Mendominasinya partai politik di kelembagaan DPD telah merusak bangunan bikameral yang diatur dalam UUD 1945. Konstitusi menghendaki DPD-RI diisi oleh perwakilan berdasarkan aspirasi daerah sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat diisi oleh perwakilan partai politik. Tapi sistem ini dirusak," ujar Kordinator Aksi BEM se-Jakarta, Ashar usai aksi demo di PTUN Jakarta, Rabu (07/06).Ashar menegaskan, Aliansi BEM - Jakarta sangat prihatik karena terpilihnya Ketua Umum salah satu partai politik sebagai ketua DPD membuktikan adanya perebutan kekuasaan di DPD dengan menghalalkan segala cara. Apalagi dalam perebutan tersebut cukup terlihat intrik khas sebuah partai politikBaca juga.. :
Mereka juga melihat adanya pemilihan dengan cara-cara yang ilegal. Salah satunya pengangkangan peraturan Mahkamah Agung (MA) terkait kepemimpinan DPD RI. Secara jelas terlihat bahwa pengambilan sumpah jabatan pimpinan DPD bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 38P/HUM/2017 dan Putusan Nomor 20P/HUM/2017 yang mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya terkait masa jabatan Pimpinan DPD harus hingga terpilihnya anggota DPD yang baru pada Pemilu berikutnya.“Bagaimanakah sifat putusan MA? Sebagian kalangan berpendapat bahwa karena belum terdapat upaya mencabut Peraturan DPD yang dibatalkan MA, maka ketentuan tersebut masih berlaku, sehingga berkonsekuensi terhadap berakhirnya masa jabatan Pimpinan DPD dengan komposisi M Saleh, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad,” tambahnya.