Jum'at, 26/04/2024 13:11 WIB

Arogansi Politik di DPD Ancam Supremasi Hukum

Dualisme kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai sebagai fenomena mengerikan bagi supremasi hukum di Indonesia.

Ilustrasi DPD RI

Jakarta - Dualisme kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai sebagai fenomena mengerikan bagi supremasi hukum di Indonesia. Dimana, kepastian hukum yang semestinya menjadi panglima disabotase oleh kepentingan politik yang cenderung arogan.

Demikian disampaikan Anggota DPD RI dari Sulawesi Selatan AM Iqbal Parewangi, melalui rilisnya, Jakarta, Rabu (7/6). Menurutnya, preseden buruk yang dipertontonkan Wakil Ketua MA akan berimbas luas dan berbahaya bagi kelangsungan hidup bernegara.

"Masa depan semua putusan MA terancam. Akan banyak pihak yang secara sadar dan beramai-ramai tak mau melaksanakan putusan MA akibat preseden buruk yang dilakukan Wakil Ketua MA dengan tidak menghormati putusan MA sendiri terkait masa jabatan pimpinan DPD," kata Iqbal.

Kata Iqbal, pembentukan UU oleh Presiden, DPR, dan DPD terancam cacat formal dan tidak sah. Sebab, DPD adalah lembaga negara yang terlibat langsung dalam pembentukan UU bersama Presiden dan DPR sebagaimana diatur dalam pasal 22 D UUD 1945.

"Seluruh produk legislasi yang disampaikan DPD dengan pimpinan yang tidak sah menjadi tidak sah pula. Bahaya besar dalam konteks ini adalah terjadinya cacat formal pada semua produk legislasi yang dilahirkan Pemerintah, DPR, dan DPD," jelas Iqbal.

Lebih jauh Iqbal mengingatkan bahwa bahaya lebih parah adalah kemungkinan munculnya inspirasi kudeta terhadap kekuasaan lembaga negara lain, bahkan terhadap presiden. Dimana, tunduknya hukum pada tekanan dan realitas politik yang dijadikan sebagai panglima.

"Akan muncul pemahaman bahwa cukup dengan dukungan politik sebagian anggota parlemen maka semua bisa dibenarkan meskipun tidak sejalan dengan standar hukum yang benar dan esensial," terangnya.

Selain itu, kata Iqbal, arogansi kekuatan politik di DPD semakin mencolok lantaran ditahannya hak keuangan reses yang melekat pada sebagian anggota DPD karena tak mengakui kepemimpinan OSO yang dianggap ilegal.

"Ini adalah contoh dari kekacauan pengelolaan anggaran di DPD. Bahkan dapat dikhawatirkan terjadinya potensi korupsi dan pelanggaran hukum yang berkelanjutan," tegas Iqbal.

Dengan dasar itu, 13 senator mendesak agar Presiden Jokowi dan para pimpinan lembaga negara ikut bertindak dan mencegah implikasi negatif dari sikap arogan kekuatan politik di DPD yang tak mengindakan supremasi hukum di Indonesia.

"Kami minta Presiden dan lembaga negara tidak melakukan kegiatan dengan melibatkan pimpinan DPD yang tidak sah," tuntas Iqbal.

Diketahui, pengambilan sumpah jabatan pimpinan DPD sendiri dipandu oleh Wakil Ketua MA Suwardi pada 4 April 2017. Sementara putusan MA menyatakan masa jabatan pimpinan DPD tak boleh diubah menjadi dua periode masa jabatan sebagaimana diusulkan sejumlah anggota DPD.

Terkait putusan itu, sebanyak 13 senator menolak pengambilan sumpah jabatan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai ketua DPD.

13 Anggota DPD yang menandatangani penolakan terhadap OSO sebagai pimpinan DPD adalah AM Iqbal Parewangi (Sulsel), Anna Latukonsina (Maluku), Nurmawati Dewi Bantilan (Sulteng), Denty Eka Widi Pratiwi (Jateng) Emma Yohana (Sumbar) Muh Asri Anas (Sulbar), M Afnan Hadikusumo (DIY), Anang Prihantoro (Lampung), Cholid Mahmud (DIY), Abdul Aziz Qohar Mudzakkar (Sulsel), Eni Khairani (Bengkulu), Marthen (Sulbar), dan Ahmad Jajuli (Lampung).

KEYWORD :

Konflik DPD Ketua DPD Oesman Sapta Odang




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :