Demokrat: Indikator Utang Masuk Zona Waspada, Pemerintah Harus Siapkan Mitigasi Risiko Gagal Bayar

Rabu, 30/06/2021 14:11 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Kalangan dewan menilai hasil pemeriksaan BPK terhadap pelaksanaan APBN 2020 mengindikasikan bahwa kemampuan pemerintah  untuk membayar utang dan bunga utang semakin menurun. 

Anggota Komisi XI DPR RI, Marwan Cik Asan menduga, ada ketidakselarasan antara utang dengan pemanfaatan utang. Dengan kata lain, terdapat pula indikasi penggunaan dana oleh pemerintah tidak efesien dan rencana pembiayaan lemah.  

‘’Pemerintah harus terbuka kepada publik. Kalau melihat indikator pengelolaan utang pemerintah, kondisi fiskal semakin menghawatikan dan mengarah tidak berlanjutnya pengelolaan fiskal. Kita butuh perubahan yang drastis, misalnya dengan meningkatkan penerimaan. Mengurangi pengeluaran pemerintah dan defisit anggaran tidak akan menyelesaikan masalah ekonomi saat ini,’’ kata dia kepada wartawan, Rabu (30/6).

Data yang diperoleh Marwan dari BPK menyebutkan, saat ini rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25% - 35%. 

Sementara rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6% - 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7% - 19%. Adapun rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92% - 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90% - 150%.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat itu melanjutkan, postur APBN 2020 memberikan toleransi untuk melebarkan defisit APBN lebih dari 3 persen. Konsekuensinya, pembiayaan APBN meningkat melalui utang sebesar Rp 1.296,56 triliun atau meningkat 198 persen dari tahun 2019.  

‘’Tapi pembiayaan tidak semua terserap dalam alokasi program, sehingga menyisahkan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan) yang sangat besar mencapai Rp 234,7 triliun. Realisasi ini, melonjak 400 persen dibandingkan realisasi SILPA pada 2019 yang sebesar Rp46,40 triliun. Inilah yang saya sebut menunjukkan adanya ketidakselarasan antara utang dengan pemanfaatan utang,’’ papar Marwan lagi.

Baginya, Perppu No 1/2020 yang memberikan toleransi defisit melampaui tiga persen selama tiga tahun berturut-turut telah berdampak pada bertambahnya besaran belanja yang tidak terkendali. Program PEN yang harusnya lebih fokus pada penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi rakyat terdampak langsung, dalam praktiknya juga memberikan porsi besar kepada sektor yang tidak terdampak langsung.

‘’Contohnya, alokasi untuk BUMN yang mencapai 152 triliun rupiah. Harus diingat, apa sih tujuan pembiayaan utang? Bahwa setiap rupiah utang harus digunakan untuk kegiatan produktif dan dapat menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi. Apalagi bunganya tidak sedikit,’’ tuturnya.

Ditambahkan, dengan proyeksi defisit sampai 2022 melampau 3 persen, maka diperkirakan utang pemerintah tahun 2024 melampaui angka Rp. 10.000 triliun. Kondisi ini tentu akan berdampak pada kemampuan pemerintah membayar pokok dan bunganya. Ruang fiskal pemerintah akan semakin terbatas, belanja pemerintah akan terkuras untuk membayar bunga utang.

Jumlah utang pemerintah sampai dengan akhir Mei 2021 telah mencapai Rp 6.418,15 triliun atau setara dengan 40,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Meskipun masih dalam batas yang aman di bawah 60 persen sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara, namun jika diigabungkan dengan jumlah utang yang ditarik oleh BUMN maka rasio utang pemerintah telah melampaui batasan UU. 

APBN, lanjutnya, akan menjadi tumpuan pemerintah dalam penyelesaian utang BUMN jika sewaktu-waktu terjadi gagal bayar. Sudah saatnya pemerintah mempersiapkan mitigas risiko atas potensi gagal bayar utang BUMN.

‘’Pemerintah menyatakan senantiasa mengelola pembiayaan secara hati-hati, kredibel, dan terukur dalam beberapa tahun terakhir. Tapi saya kira, itu bertolak belakang dengan fakta sebenarnya. Hasil pemeriksaan BPK terang benderang menunjukan bahwa beberapa indikator utang telah melampaui batas aman dan masuk dalam zona waspada,’’ kata Marwan lagi.

Karena itu, tambahnya, pemerintah harus secara terbuka dan objektif memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kondisi fiskal pemerintah tidak dalam kondisi sehat dan perlu kewaspadaan. 

“Menutupi risiko yang sedang terjadi adalah bom waktu bagi pengelolaan fiskal dan APBN,” sambungnya.

TERKINI
Taylor Swift Sedih Tinggalkan Pacar dan Teman-temannya untuk Eras Tour di Eropa Album Beyonce Cowboy Carter Disebut Layak Jadi Album Terbaik Grammy 2025 Ryan Gosling Bikin Aksi Kejutan ala Stuntman The Fall Guy di Universal Studios Dwayne Johnson Senang Jadi Maui Lagi di Moana 2