Benny: Pembahasan RUU MK Bagai Halilintar

Selasa, 08/09/2020 19:05 WIB

JAKARTA, Jurnas.com – Pembahasan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai bagai halilintar. Datang tiba-tiba, cepat selesai, dan mematikan.

Demikian diungkap Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat Benny K Harman dalam Diskusi Forum Bagaimana Memperkuat Kekuasaan Kehakiman?” yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Media Center DPR/MPR/DPD RI, Jakarta, Selasa (8/9/2020).

“Memang Undang-undang MK ini nampaknya undang-undang halilintar, seperti petir di siang hari bolong.  Mengagetkan.  Dan saya ibaratkan juga seperti covid-19, datang tiba-tiba, diam-diam tetapi mematikan,” kata Benny.

Pengesahan RUU MK menjadi undang-undang diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa (1/9/2020), ditengah hujan kritik karena disinyalir sebagai UU yang penuh kepentingan dan barter politik.

Benny mengatakan, Fraksi Demokrat adalah salah satu yang menolak pembahasan RUU MK karena masih masa pandemi Covid-19. Tapi sebagai partai di luar pemerintah, Demokrat kalah suara, dan RUU MK diputuskan tetap dibahas untuk menjadi undang-undang. Rapat paripurna kemudian menugaskan Komisi III untuk membahas.

Benny mengatakan, sebetulnya tidak ada yang dibahas karena RUU MK memang menurutnya tidak ada isinya.

“Ada yang  tanya kok cepat sekali? Jangankan satu minggu,  satu malam pun bisa (selesai).  Jjadi nggak usah ditanya itu kenapa cepat sekali. Memang ada yang bahas,  yang dibahas sedikit,” katanya.

Menurutnya dalam RUU MK hanya ada beberapa substansi utama yang dibahas. Pertama terkait dengan masa jabatan hakim MK yang semula diusulkan DPR 60 tahun hingga 70 tahun, diubah menjadi 55 tahun. Jadi  masa jabatan hakim MK selama 15 tahun.

Kemudian UU MK yang baru ini otomatis berlaku terhadap  jabatan hakim MK yang ada sekarang. Jadi hakim MK sekarang otomatis bisa menjabat selama 15 tahun.

“Jadi sampai tahun 2024 tidak akan ada hakim MK yang dipensiunkan dan tidak ada yang berhenti,” ujar Benny.

Kemudian pasal substansi lainnya adalah tentang constitutional complaint. Pasal ini memungkinkan setiap masyarakat berhak menguji ke MK setiap tindakan pemerintah dan pejabat publik yang dianggap melanggar konstitusi, supaya kebijakan tersebut diberhentikan atau ditiadakan.

Tetapi setelah diskusi panjang, pasal constitutional complaint ini kemudian dihapus dengan alasan waktu pembahasannya tidak cukup.

“Maka memang tidak butuh waktu pembahasan yang panjang. Kan hanya (membahasa) soal itu saja,” kata Benny.

Benny meyakini, membahas undang-undang apapun pasti berkaitan dengan kepentingan kekuasaan.

“Itu di manapun,  hukum apapun . Maka pertanyaannya,  kalau undang-undang MK ini  cepat-cepat dibikin dan disahkan,  pasti ada kepentingan. Tidak usah dibantah itu, pasti ada kepentingan. Maka  pertanyaan lanjutannya, siapa yang berkepentingan? Kan begitu,” tutup Benny.

TERKINI
Dasco Pastikan Daftar Kabinet Prabowo-Gibran yang Beredar Tidak Benar Dunia Alami Krisis Guru, Ini Saran PGRI ke Pemerintah Genjot Penjualan di China, Toyota Gandeng Tencent Toyota Kenalkan Dua Varian Mobil Listrik untuk Pasar China