Semua Pihak Diminta Waspada meski Tren Karhutla Menurun

Rabu, 26/08/2020 09:10 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Tren kebakaran lahan dan hutan mengalami penurunan di tahun ini merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kendati demikian, pemerintah dan pelaku usaha tetap diminta waspada terhadap bahaya api yang puncaknya terjadi menjelang September.

Data KLHK menunjukkan luas kebakaran lahan dan hutan dari 1 Januari – 31 Juli 2020 secara keseluruhan mengalami penurunan 52,41% menjadi 71.145 hektare. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu 135.747 hektar.

Fakta ini terungkap dalam diskusi webinar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertemakan "Persiapan Industri Sawit Hadapi Karhutla di Tengah Pandemi COVID-19" di Jakarta, Selasa (25/8).

Direktur Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), Ardi Praptono mengatakan semua pihak berkolaborasi dan bekerjasama dalam upaya pencegahan karhutla di tahun ini. Menurutnya Kementan secara aktif melakukan sosialisasi regulasi dan penerapan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) di enam provinsi rawan karhutla yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur

Langkah lainnya membentuk Brigade Karlabun dan Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) sebanyak 3.181 orang. Hingga tahun 2019, telah terbentuk 17 Brigade Kartabun dengan total jumlah personel 1.051 orang. Selain itu, juga telah terbentuk 142 KTPA dengan total anggota petani sebanyak 2.130 orang.
Dalam pencegahan karhutla tahun ini, Kementan menyiapkan dana sebesar Rp4,55 miliar, dari sebelumnya dianggarkan mencapai Rp12,1 miliar.

"Akibat adanya pandemi COVID-19, anggaran tersebut diefisienkan. Dari anggaran tersebut sudah dibuat demplot pembukaa lahan perkebunan tanpa membakar di Kalimantan Tengah. Fokus lain penggunaan dana ini yaitu operasional brigade karlabun dan pengawalan penanganan kebakaran lahan serta perkebunan," ujar Ardi.

Untuk itu, Ardi meminta perkebunan juga menyiapkan diri untuk mengatasi kebakaran. Bahkan Kementan punya sanksi tegas yang tertuang dalam Undang-Undang Perkebunan No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
"Pada Pasal 108 dijelaskan, setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar," katanya.

Kepala Sub Direktorat Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Anis Susanti Aliati mengatakan upaya pencegahan karhutla akan lebih baik dibandingkan terjadi kebakaran lalu baru dipadamkan. Itu sebabnya, pencegahan karhutla merupakan tanggung jawab bersama mulai dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan masyarakat.
"Berdasarkan prediksi BMKG tahun ini terjadi kemarau basah mendukung pengurangan areal karhutla. Selain itu, teknologi modifikasi cuaca (TMC) kita lakukan lebih awal pada akhir musim hujan yakni mulau bulan Maret 2020," ungkapnya

Meskipun diakuinya, TMC bukan satu-stunya cara pengendalian karhutla. Menurut dia , ada solusi lain yakni optimalisasi pemanfaatan data iklim dan monitoring cuaca. Selain itu, pengelolaan dari para pemegang konsensi lahan agar melakukan kegiatan pembukaan lahan tanpa bakar. "Misalnya imbah hasil pembukaan bisa dimanfaatkan untuk membuat cuka kayu atau disinfektan,” ujarnya.

Anis mengatakan, BMKG memprediksi puncak musim kemarau tahun ini terjadi pada bulan Juli-September. “Sebaiknya, kita semua lebih waspada terutama Agustus ini dan berharap karhutla tahun ini tidak meningkat,” kata dia.
Ketua Bidang Sustainibility Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bambang Dwi Laksono mengatakan terdapat tantangan untuk penanganan karhutla termasuk di area perkebunan yang masih dihadapi saat ini. Pertama, lahan perkebunan pada umumnya berada di remote area dengan sistem komunikasi dan transportasi yang terbatas.

Hal itu menyebabkan deteksi kejadian dan penanganannya kerap kali mengalami keterlambatan,” ujar diaKedua, masih ada peraturan perundangan yang membolehkan pembakaran lahan untuk membuka lahan baru dengan alasan kearifan lokal. Menurutnya, jika pembakaran lahan masyarakat masih ditolerir, maka berpotensi memicu kebakaran dalam skala besar apabila tidak disertai monitoring yang efektif.

Ketiga, dalam penanggulangan kebakaran terutama program edukasi bagi komunitas setempat. “Ini harus disikapi dengan program edukasi dan komunikasi yang tepat sesuai kultur masyarakat yang menjadi objek pencegahan,” tambah Bambang.
Keempat, Pandemi COVID-19 menjadikan keterbatasan interaksi sehingga berpotensi menyebabkan rendahnya pelaksanaan program kerjasama dengan masyarakat lokal dalam penanganan karhutla.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Dr. Pandu Riono mengajak semua pihak berkolaborasi dan lebih waspada supaya kebakaran lahan dan hutan tidak membesar di tengah pandemi.

Hal ini perlu dilakukan mencegah beban ganda bagi masyarakat yang mengalami dampak karhutla bagi kesehatan publik berupa penyakit paru yakni tuberkulosis (TB).

TERKINI
Taylor Swift Sedih Tinggalkan Pacar dan Teman-temannya untuk Eras Tour di Eropa Album Beyonce Cowboy Carter Disebut Layak Jadi Album Terbaik Grammy 2025 Ryan Gosling Bikin Aksi Kejutan ala Stuntman The Fall Guy di Universal Studios Dwayne Johnson Senang Jadi Maui Lagi di Moana 2