Soal Virus Corona, Indonesia Harus Punya Pulau untuk Karantina

Kamis, 06/02/2020 18:59 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Pemerintah mendapat apresiasi yang telah sigap memulangkan 238 warga negara Indonesia dari Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, yang menjadi kota endemik virus corona atau 2019-nCoV (novel coronavirus).

Anggota Komisi I DPR Syaifullah Tamliha mengatakan, Indonesia semestinya menyediakan pulau untuk dikelola dengan baik. Sehingga, 238 WNI tidak seharusnya yang dipulangkan dari Wuhan itu dikarantina di Natuna.

"Menghadapi masalah ini sebenarnya Indonesia itu memiliki banyak pulau, tetapi kita tidak bisa mengelola pulau-pulau itu untuk karantina. Pulau-pulau itu semestinya ada yang khusus, seperti (untuk) hal semacam ini semestinya tidak perlu ditempatkan di Natuna," kata Tamliha, dalam diskusi bertema "Efek Domino Virus Corona" di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/2).

Ia menegaskan, masih banyak pulau lain di Indonesia yang bila dikelola dengan baik, bisa dijadikan tempat karantina. "Namun, kita tidak bisa menyiapkan pulau-pulau itu untuk dikelola, tetapi begitu pulau-pulau kita diganggu baru kita ribut," ujar Tamliha.

Ia mencontohkan, soal ribut-ribut terkait indikasi masuknya kapal nelayan Tiongkok ke perairan Natuna beberapa waktu lalu. Tamliha menjelaskan, pejabat yang mengerti soal kedaulatan negara juga kadang-kadang salah bicara. Misalnya, terkait dugaan pelanggaran cost guard Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Natuna Utara.

"Padahal, yang disebut kedaulatan negara itu hanyalah 16 mil dari garis pantai. Itulah kedaulatan negara. Kalau ZEE itu 200 mil dari bibir pantai. Jadi, antara garis dengan bibir saja sudah berbeda," jelas Tamliha.

Ia menjelaskan, sungguh menjadi sebuah pemandangan yang kurang bagus ketika kapal-kapal perang Indonesia berada di ZEE. Padahal, kata dia, kapal mana pun sebenarnya boleh melintasi ZEE karena tidak ada larangan selagi tidak mengeksploitasi sumber daya yang ada di sana.

Menurutnya, seharusnya Indonesia juga membenahi diri. Salah satunya adalah terkait peningkatan daya jelajah kapal nelayan Indonesia.

Menurut Tamliha, ketika dia pernah duduk di Komisi IV DPR, sampai sekarang ini bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kepada nelayan hanya kapal yang memiliki daya jelajah 50 knot. Sementara, lanjut dia, kapal-kapal nelayan Vietnam maupun Tiongkok itu lebih dari 1000 knot sehingga daya jelajahnya tinggi.

"Nah, ini mana duluan ayam sama telur, kapal perangnya Bakamla dulu disiapkan ataukah nelayan dulu? Semestinya (kapal) nelayan dulu, karena nelayan itulah yang akan mengeksploitasi itu dan Bakamla adalah lembaga yang mengawal para nelayan itu di tengah laut," ungkap Tamliha.

Ia menegaskan bahwa sekarang Indonesia teriak-teriak soal United Nations Convention on the Law of the Sea atau Unclos tahun 1982, namun tidak mengerti bahwa ZEE bukan kedaulatan negara. Menurut dia, yang menjadi kedaulatan negara itu adalah sumber daya yang dimiliki di negara di ZEE tersebut.

"Persoalan kita dengan Vietnam juga belum selesai bahwa Vietnam itu mengklaim itu (ZEE) wilayah dari mereka. Antarklaim itu boleh terjadi. Yang klaim tidak selesai sampai kiamat itu adalah antara Indonesia dengan Tiongkok," katanya.

Sebab, lanjut Tamliha, Tiongkok mendasarkan pada deklarasi Tahun 1947 bahwa Natuna merupakan bagian dari sembilan garis putus-putus yang selalu menjadi bagian jelajahan kapal nelayan mereka. Sementara Indonesia berpegang pada Unclous 1982.

TERKINI
Perang Epik Rebutan Kilang Anggur, Brad Pitt dan Angelina Jolie Saling Menuduh Milla Jovovich Ungkap Dirinya Pernah Jadi Baby Sitter Anak-anak Bruce Willis dan Demi Moore Akhirnya Britney Spears Benar-benar Bebas dari Ayahnya Setelah Konservatori Usai 2 Tahun Lalu Scarlett Johansson Dampingi Suaminya Colin Jost Jadi Penghibur di Gedung Putih