Rabu, 07/11/2018 05:10 WIB
Jakarta - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak pemerintah Bangladesh dan Myanmar membatalakan rencana memulangkan ratusan ribu pengungsi Negara Bagian Rakhine karena potensi mengalami penganiayaan masih sangat besar.
Lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya menyeberang ke Bangladesh dari Myanmar barat setelah penumpasan militer pada bulan Agustus 2017.
Pada 30 Oktober, Bangladesh dan Myanmar setuju untuk memulai kembalinya para pengungsi pada pertengahan November tetapi badan pengungsi PBB (UNHCR), mengatakan kondisi di Negara Bagian Rakhine belum kondusif 100 persen.
"Saya mendesak pemerintah Bangladesh dan Myanmar untuk menghentikan rencana pemulangan ini," kata Yanghee Lee, pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia di Myanmar, Selasa (6/11).
Ia juga menyerukan negara itu untuk memberikan Rohingya hak untuk mendapatkan kewarganegaraan, kebebasan bergerak dan akses ke layanan publik.
Jaksa Selidiki Peretasan Telepon Anggota Parlemen Oposisi Polandia saat Partainya Masih Berkuasa
Sebut Demonstrasi Ciri Demokrasi, Menlu AS Kecam Sikap Diam Mahasiswa terhadap Hamas
Netanyahu Sebut Apapun Keputusan ICC Tidak akan Pengaruhi Tindakan Israel di Gaza
Seperti diketahui pemerintah Myanmar tidak menganggap Rohingya sebagai kelompok etnis pribumi. Banyak di negara yang mayoritas beragama Budha menyebut Rohingya "Bengali", yang mengisyaratkan mereka sebagai warga Bangladesh.
Lee mengatakan, pemerintah Myanmar belum berhasil memberikan jaminan bahwa etnis Rohingya tidak akan mengalami penganiayaan dan kekerasan yang sama sekali lagi.
Penyidik itu mengaku terlah menerima informasi yang dapat dipercaya dari para pengungsi di Cox`s Bazar, Bangladesh, bahwa "Mereka sangat takut nama mereka berada di daftar untuk dipulangkan".
Bulan lalu, para pejabat Myanmar mengatakan mereka memverifikasi 5.000 pengungsi Rohingya sejauh ini, dengan kelompok pertama 2.000 yang akan dipulangkan pada November.
Stephane Dujarric, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mengatakan kesepakatan itu telah membuat badan pengungsi PBB (UNHCR) terkejut.
"Menjadi jelas bahwa UNHCR, yang memimpin soal isu-isu pengungsi, tidak dikonsultasikan mengenai hal ini," kata Dujarric. (Al Jazeera)