Kamis, 02/05/2024 16:48 WIB
Jakarta, Jurnas.com - Keberlangsungan bahasa daerah saat ini tergantung dengan bahasa pergaulan yang digunakan setiap hari. Semakin jarang penutur menggunakan bahasa daerah, maka semakin besar pula bahasa tersebut punah.
Demikian disampaikan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbudristek, E. Aminudin Aziz, di sela-sela pembukaan Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional di Jakarta pada Rabu (2/5) kemarin.
"Pentingnya bahasa ibu ini dimulai dari keluarga. Karena yang paling kuat itu dari keluarga. Kalau orang tua tidak menggunakan lagi bahasa daerah atau bahasa ibunya, ini yang membahayakan seperti kata UNESCO, yakni setiap dua minggu ada satu bahasa daerah yang hilang," kata Aminudin kepada awak media.
"Gejala utamanya adalah tidak lagi menggunakan bahasa itu dalam pergaulan sehari-hari," sambung dia.
Kemdikbudristek Gandeng MAP Group Siapkan SDM Bidang Retail
Puluhan Industri Retail Buka Peluang Kemitraan dengan Vokasi
Kemdikbudristek Gandeng Markoding Siapkan Talenta Digital Perempuan
Karena itu, melalui program Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD), Badan Bahasa berupaya melakukan advokasi dengan menyadarkan orang tua, masyarakat, dan pegiat bahasa, guna melestarikan bahasa daerah yang rentan punah. Program inipun direspons positif oleh pemerintah daerah.
"Kini mereka justru yang meminta ke UPT-UPT kami, agar direvitalisasi bahasa daerahnya. Tahun 2023, jumlahnya naik jadi 73, tahun ini 93 bahasa daerah," kata Aminudin.
Aminudin menggarisbawahi bahwa RBD tidak serta-merta menghilangkan tren punahnya bahasa daerah, melainkan hanya memperlambat kepunahannya upaya masyarakat sadar dan tetap menggunakannya.
"Data yang kami buat melalui sekolah, jumlah peserta RBD tiap tahun meningkat tajam. Dari target 1.500 malah diikuti 1,5 juta orang. Total sudah lebih 5 juta orang sejak awal. Murid untuk belajar bahasa daerah sudah makin besar, karena bahasa yang direvitalisasi makin besar," ujar dia.