Sabtu, 30/04/2022 08:17 WIB
JAKARTA, Jurnas.com - Afrika Selatan mungkin memasuki gelombang COVID-19 kelima lebih awal dari yang diperkirakan setelah peningkatan infeksi yang berkelanjutan selama 14 hari terakhir yang tampaknya didorong oleh subvarian Omikron, BA.4 dan BA.5.
Negara yang mencatat kasus virus corona dan kematian terbanyak di benua Afrika itu baru keluar dari gelombang keempat sekitar Januari, dan telah memperkirakan gelombang kelima bisa dimulai pada Mei atau Juni, awal musim dingin di belahan bumi selatan.
Menteri Kesehatan Afrika Selatan, Joe Phaahla mengatakan dalam sebuah pengarahan bahwa meskipun rawat inap meningkat, sejauh ini tidak ada perubahan dramatis dalam kematian atau penerimaan ke unit perawatan intensif.
Ia mengatakan, pada tahap ini, otoritas kesehatan belum disiagakan adanya varian baru, selain perubahan dominan yang beredar, Omicron.
Ditemukan Nyaris Mati, Baboo Harimau Bengal Kini Siap Dilepasliarkan di Afrika Selatan
BKSAP DPR Apresiasi Gugatan Afrika Selatan di Mahkamah Internasional
Tuduhan Kasus Genosida, Mahkamah Internasional Keluarkan Enam Perintah untuk Israel
Spesialis penyakit menular Richard Lessells mengatakan pada pengarahan yang sama bahwa berkurangnya kekebalan dari gelombang sebelumnya dapat berkontribusi pada kebangkitan kasus yang lebih awal dari perkiraan.
Ia mengatakan, meningkatnya pangsa infeksi yang dikaitkan dengan sub-garis keturunan BA.4 dan BA.5 dari Omicron menunjukkan bahwa mereka memiliki keunggulan pertumbuhan dibandingkan sub-varian Omicron lainnya seperti BA.2.
Namun sejauh ini, tidak ada tanda bahwa BA.4 dan BA.5 menyebabkan penyakit yang jauh lebih parah, kata Waasila Jassat dari Institut Nasional untuk Penyakit Menular.
Afrika Selatan telah melaporkan lebih dari 3,7 juta kasus COVID-19 dan lebih dari 100.000 kematian selama pandemi. Pada hari Kamis, kantor Organisasi Kesehatan Dunia Afrika menandai peningkatan infeksi Afrika Selatan sebagai pendorong utama peningkatan di benua Afrika.
Pejabat kesehatan senior Nicholas Crisp juga mengatakan pada hari Jumat bahwa negara itu memiliki dosis vaksin yang cukup dan tidak berencana untuk membeli lebih banyak.
Dia menambahkan, pemerintah tidak berniat membeli pil pengobatan COVID-19 Pfizer Paxlovid untuk pasien sektor publik, antara lain karena harganya sangat mahal.
Sumber: Reuters