Syamsuddin Radjab: Oligarki Harus Dilawan

Minggu, 14/11/2021 18:14 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Situsasi Indonesia dalam kondisi tidak menentu karena kebijakan pemerintah gonta-ganti di tengah kondisi Covid-19 bahkan kebijakan seperti dalam kasus PCR yang membebani rakyat diciptakan untuk meraup keuntungan berjumlah triliunan untuk kepentingan pejabatnya dan oligarki.

Hal ini, memberi pengaruh terhadap penanganan kasus covid-19 tak tertangani secara baik, iklim investasi terganggu, dan perbaikan ekonomi melambat.

Direktur eksekutif Jenggala Center, Syamsuddin Radjab, mengatakan oligaki tak bisa dibiarkan tumbuh subur di negara ini. Semua pihak, terutama kaum intelektual harus menyampaikan ide, sudut pandang dan solusi harus untuk membendung pembajakan demokrasi yang dilakukan para elit negeri ini.

"Itu penting menurut saya, karena suatu ide baik sekalipun kalau dia tidak diperjuangkan akan susah diraih, karena kadang-kadang negara atau pemerintah, mengabaikan atau lalai terhadap tanggungjawabnya untuk membangun negara ini sendiri menjadi negara yang adil, sejahtera dan makmur. Bahkan cenderung kekuasaannya digunakan untuk mengeksploitasi rakyatnya untuk kepentingan pribadi, dan oligarki. Termasuk era sekarang ini, dan ini harus dilawan," ujar Syamsuddin Radjab.

Menurutnya, kaum intelektual dan aktivis harus duduk bersama menyamakan persepsi dan mengkonsolidasi semua kekuatan, untuk menemukan solusi dalam rangka menghadang pergerakan oligarki tumbuh subur di negara ini.

"Karena itu dunia aktivisme itu adalah dunia gerakan, gerakan untuk menginginkan sesuatu dan dengan ideologi-ideologi yang dia yakini untuk itu dia diwujudkan. Jadi dia masuk dalam kerangka yang sangat idealitas di dalam pikiran yang ingin diwujudkan di dalam kenyataan," tutur mantan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) dan aktivis HMI ini.

Menurut Syamsuddin, aktivis jangan hanya mengandalkan pergerakan. Pergerakan tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan pengetahuan (knowledge). Pergerakan dan pengetahuan sama-sama penting dalam dunia aktivisme.

Syamsuddin kemudian menceritakan hal ikhwal dirinya memasuki dunia aktivisme. Dia menyampaikan bahwa dirinya sudah memasuki dunia aktivis sejak dirinya masih berusia remaja. Dimulai sejak mengenyam pendikan SMP dan SMA, Syamsuddin sudah menjadi Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) di Sulawesi Selatan.

Syamsuddin juga mengaku pernah menyandang status tersangka di Polrestabes Makasar karena melakukan aksi demonstrasi.

"Saya memang aktif di organisasi, ketika SMP-SMA di Ikatan Pelajar muhammadiyah dan menjadi ketua umum IPM Muhammadiyah di Makasar 1992-1993. Ketika saya jadi ketua ada banyak catatan sejarah yang bisa ditanyakan ke alumni-alumni atau aktivis Muhammadiyah di Sulsel, kecil-kecilan ada pemberontakan kaum santri di masa saya dan itu gerilya yang dipakai karena saya waktu SMA itu sudah jadi tersangka oleh Polresta Makasar. Tapi tidak ditahan karena di lingkup pesantren tapi kalau pemeriksaan saya selalu datang ke Makasar di Polrestabes itu," cerita dia.

Setelah lulus SMA, Syamsuddin melanjutkan pendidikannya di kampus UIN Alauddin Makasar. Dan sebelum memutuskan kuliah di UIN Allauddin Makasar, dia sempat mengikuti tes untuk kuliah di Timur Tengah, Kuwait. Namun, menjadi salah satu mahasiswa di Kuwait tersebut tidak terwujud karena persyaratan bagi Syamsuddin terlalu berat.

"Saya dulu hampir sekolah di Kuwait. Jadi ada pengiriman untuk studi pelajar di Timur Tengah tapi karena syarat-syaratnya berat mungkin kita dinilai nakal ini "Ollenk" sebutan Syamsuddin Radjab, juga kalau dikirim enggak berhasil karena tidak jadi berangkat saya memutuskan ya sudah engggak usah kuliah. Waktu itu sudah hampir mau lari ke Jawa cuma orang tua mencegah. ya sudah kuliah di sini, di IAIN Alauddin Makasar (Sakarang UIN Alauddin Makasar). Jadi saya off satu satu baru masuk (kuliah)," katanya.

Mendaftar sebagai calon mahasiswa baru, Syamsuddin menceritakan tidak ikut mengurus pendaftaran. Yang mendaftarkan sebagai calon mahasiswa baru di UIN Alauddin adalah teman-temannya semasa di IPM.

"Begitu masuk di UIN karena anggota saya yang dulu waktu jadi ketum IPM anggota saya yang duluan mahasiswa mereka inilah yang ngurus sana-sini pendaftaran saya. Kalau kamu mau lihat saya kuliah, kamu ambilkan formulir pendaftaran. Jadi saya didaftarkan oleh mereka. Memang sudah ada pasukan saya di UIN sebelum masuk. Jadi sebelum invasi sudah ada infiltrasi. Jadi saya masuklah kuliah," kenang bapak dari satu anak ini.

Syamsuddin ternyata sudah rajin membaca buku-buku sosial, politik, dan kepemimpinan sejak dia masih mengenyam pendidikan SMP dan SMA. Bahkan dia memiliki koleksi 300 judul buku. Dari sekian banyak yang terpajang di kamar pribadinya, Syamsuddin mengaku senang membaca buku berjudul "Kudeta: Teori dan Praktik Penggulingan Kekuasaan” karya yang ditulis oleh Edward N. Luttwak.

"Saya SMA sudah punya koleksi buku 300 (judul). Masa-masa itu kalau tidur ya tidur dengan buku, pada masa tertentu ya. Kemudian masuk UIN dan semester 3 saya sudah jadi Ketua Umum senat fakultas. Waktu itu Ketua Umum Senat termudah se indonesia. Dan semesster 5 sudah jadi Ketua Umum Senat Universitas walaupun tidak diakui oleh rektorat. Tidak diakui tapi saya diberi fasilitas sendiri, karena saya 1996-1997, sejak Ketum Fakultas dan 1998-2000 ketum di Universitas jadi suasana dinamisnya secara eksternal menarik dari sisi isu-isu politik, politik kekuasaan sehingga harus kita terjun langsung memenej mahasiswa dan gerakan-gerakan lainnya," ucap Syamsuddin.

Syamsuddin bahkan mengklaim bahwa gerakan mahasiswa yang membludak di seluruh Indonesia pada 1997 dimulai dari aktivis Mahasiswa Makasar. Isu yang disorot Syamsuddin Radjab dan teman-temannya adalah soal kematian anak salah satu dosen UIN Alauddin Makasar dan sampai menggulirkan isu reformasi.

"Jakarta ini belum ada gerakan-gerakan tahun 1997 soal reformasi itu. Jadi menurut saya yang menjadi pioner gerakan mahasiswa sejak 1997 hingga masuknya era reformasi 98 di Makasar. Itu kasus terbunuhnya salah seorang anak dosen UIN. Jadi Jakarta belum bunyi dan Makasar sudah bunyi untuk menyuarakan reformasi. Reformasi itulah total seluruh mahasiswa terutama di UIN dibawah komando saya dalam gerakan dan itu kita intensif untuk komunikasi aktivis lintas kampus lain, yang biasanya pada malam hari itu kita konsolidasi, rapat-rapat untuk persiapan aksi di kampus masing-masing, ketemu di satu titik, rute-rutenya juga sudah ditentukan," katanya.

Nama Ollenk (Syamsuddin Radjab) kemudian sangat populer di dunia aktivisme dan pergerakan mahasiswa. Sebab, selain menjadi Ketua Umum Senat UIN Alauddin, Syamsuddin juga aktif di organiasasi ekstra kampus, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan membentuk banyak organ gerakan lainnya.

"Saya masuk HMI dari IPM itu karena pertimbangan politik taktis strategis. Waktu itu UIN itu yang menguasai adalah HMI. Jadi tanpa mengubah strategi kepentingan taktis itu seperti itu, harus kita berbaur dengan kelompok mayoritas untuk menjadi bagian dari kekuasaan," tukasnya.

Kemudian setelah dinyatakan lulus dan menjadi Sarjana, Syamsuddin menjadi dosen di kampus tempat dia mengenyam pendidikan S1. Namun, dia tidak meninggalkan dunia aktivismenya. Dia terus mendukung aktifitas mahasiswanya yang kerap menyelenggarakan training basic kepemimpinan. Terbukti, gaji Syamsuddin sebagai dosen, diserahkan kepada mahasiswanya.

"Pada saat jadi dosen, semua gaji belum transfer, diambil di bagian keuangan. Saya malas antri. Itu 3 tahun kalau tidak salah. waktu itu sistem penggajiannya harus diambil di bagian keuangan. 3 tahun tidak pernah ambil gaji, saya suruh aktivis-aktivis mahasiswa itu ambil gaji. Mereka pakai sendiri. Kalau ada kegiatan-kegiatan mereka misalnya basic training itu ke koperasi ambil, kadang-kadang sebut pasword nama saya kadang-kadang koperasi ngasih ini, ngasih itu. karena seperti itu mekanismenya saya pikir saya bukan kaya raya, itu uang ada hak orang lain juga. Itu untuk kepentingan ummatlah," tutur dia sambil tertawa.

Syamsuddin kemudian menyarankan mahasiswa tidak hanya fokus pada mata kuliah kampus. Tapi, semua hal harus dipelajari, termasuk ilmu yang ada di organisasi ekstra kampus. Sebab, katanya, ada perbedaan ilmu yang bisa didapat bagi mahasiswa yang aktif di organisasi ekstra kampus dan di dalam ruangan kuliah.

"Ada perbedaan, kalau di Perguruan Tinggi itu lebih menekankan pada knowledge. Jadi, pendidikan pengajaran. Kalau di aktivisme itu titik tekannya pada pendidikannya, terutama pendidikan karakter, mentalistas, solidaritas dan juga pikiran-pikiran progresif. Bagaimana komitmen, konsistensi dibangun dengan integritas diri masig-masing itu ditanamkan dengan pikirkan yang mendalam, mungkin dianggap satu ideologi dan itu gunakan sebagai pijakan gerakan-gerakan, perubahan-perubahan nasional. Apalagi memang lingkupnya, karena sering ketemu pagi, siang dan malam, ya akhirnya mengikat secara sikap terbangun solidatitasnya," paparnya.

Contohnya, kata Syamsuddin, jika ada salah satu aktivis yang ditangkap polisi karena melakukan aksi demonstrasi, maka aktivis lain tidak akan diam. Aktivis yang tidak ditangkap tersebut menggap bahwa dirinya menjadi bagian dari aktivis yang ditangkap tersebut. Itu adalah bentuk solidaritas dan komitmen dari sesama aktivis pergerakan.

"Jadi bangunan ini tidak ada di kelompok-kelompok mahasiswa biasa yang hanya sekedar kuliah di kampus tapi tidak membangun kesamaan-kesamaan cara pandang atau visi dari banyak isu-isu yang ada di Indonesia. Itu penting menurut saya, karena suatu ide baik sekalipun kalau dia tidak diperjuangkan, karena kadang-kadang negara atau pemerintah, mengabaikan atau lalai terhadap tanggungjawabnya untuk membangun negara ini sendiri menjadi negara yang adil, sejahtera dan makmur. Bahkan cenderung kekuasaannya digunakan untuk mengeksploitasi rakyatnya untuk kepentingan pribadi, dan oligarki. termasuk era sekarang ini, dan ini harus dilawan," tutup Syamsuddin Radjab.

TERKINI
Dunia Alami Krisis Guru, Ini Saran PGRI ke Pemerintah Genjot Penjualan di China, Toyota Gandeng Tencent Toyota Kenalkan Dua Varian Mobil Listrik untuk Pasar China Perang Epik Rebutan Kilang Anggur, Brad Pitt dan Angelina Jolie Saling Menuduh