Waspada, Asing Rampok Sektor Telekomunikasi Indonesia
Senin, 14/11/2016 02:18 WIB
Jakarta - Kekayaan alam Indonesia yang melimpah dilirik negara asing untuk dikuasai. Salah satu serangan asing terhadap Indonesia melalui rencana revisi PP 52 dan 53 terkait Penurunan Tarif Interkoneksi dan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja
BUMN Bersatu Arief Poyuono mengatakan, revisi PP 52 dan 53 mengancam kedaulatan NKRI. Karena spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas yang seharusnya dikuasai negara menjadi dikuasai asing.
"Bahkan bukan hanya iri tapi juga ingin merampok Indonesia. Apalagi saat keadaan pertumbuhan ekonomi dunia memburuk, Presiden Joko Widodo berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi domestiknya tetap stabil," kata Arief, Jakarta, Minggu (13/11).
Kata Arief, sebagai negara berkembang memang wajar pertumbuhan di sektor telekomunikasi yang tinggi sangat menarik bagi korporasi asing untuk dapat menikmati pertumbuhan sektor telekomunikasi Indonesia dengan modal kecil tapi untung besar.
"Sedangkan rencana revisi PP 52 dan 53 terkait Penurunan Tarif Interkoneksi dan terkait Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan yang kental dengan kepentingan korporasi asing untuk menipu, Presiden Joko Widodo dan Menteri
BUMN," kata Arief.
Untuk itu, kata Arief, dengan adanya dalih revisi kedua PP tersebut agar menarik korporasi asing untuk masuk ke sektor telekomunikasi merupakan jebakan licik. Sebab, revisi kedua PP tersebut memang akan menarik asing untuk berinvestasi untuk merampok ‘kue’ ekonomi Indonesia.
Menggunakan modal kecil untung besar caranya dengan mempengaruhi pengambil kebijakan pemerintah untuk membuat dan merevisi regulasi yang menguntungkan asing dan mematikan usaha korporasi lokal.
"Jelas betul bahwa revisi PP 52 dan 53 hanya menguntungkan asing yang tidak mau mengucurkan modal untuk membangun jaringan telekomunikasi secara menyeluruh dan merata di Indonesia," ujar Arief.
Dengan demikian dapat merugikan
BUMN sektor telekomunikasi yang telah mengeluarkan investasi besar untuk membangun jaringan telekomunikasi dengan nilai kerugian dalam 5 tahun mencapai Rp 200 triliun.
"Dengan kerugian
BUMN, maka kerugian negara akibat revisi PP 52 dan 53 mencapai Rp 100 triliun dalam 5 (lima) tahun,” jelasnya.
Selain merugikan
BUMN dan negara, revisi PP 52 dan 53 juga berdampak buruk bagi masyarakat khususnya di wilayah non-profit, karena tidak terpenuhinya hak masyarakat terhadap akses telekomunikasi.
“Ketentuan dalam revisi PP 52 dan 53 bertentangan dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi (UU 36/1999), sehingga jika dipaksakan akan batal demi hukum melalui judicial review,” ujarnya.
Karenanya, FSP
BUMN bersatu mendesak Presiden Jokowi yang membawa misi perekonomian Trisakti dan Nawacita untuk membatalkan revisi PP 52 dan 53.
Pihaknya mengapresiasi perjuangan Kementerian
BUMN yang telah berusaha menolak revisi kedua PP tersebut karena banyak dampak negatif bagi ekonomi nasional dan
BUMN sektor telekomunikasi.
“Sebab dibalik semua itu adalah cara-cara asing untuk merusak perekonomian Indonesia dengan mengunakan antek-anteknya di Menko Perekonomian dan Menkominfo,” tuntasnya.
TERKINI
Perang Epik Rebutan Kilang Anggur, Brad Pitt dan Angelina Jolie Saling Menuduh
Milla Jovovich Ungkap Dirinya Pernah Jadi Baby Sitter Anak-anak Bruce Willis dan Demi Moore
Akhirnya Britney Spears Benar-benar Bebas dari Ayahnya Setelah Konservatori Usai 2 Tahun Lalu
Scarlett Johansson Dampingi Suaminya Colin Jost Jadi Penghibur di Gedung Putih