Senin, 22/03/2021 16:42 WIB
Jakarta, Jurnas.com - Komisi III DPR RI menggelar rapat bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Boy Rafli Amar, di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (22/3).
Rapat tersebut membahas beberapa agenda, antara lain evaluasi kerja BNPT selama beberapa tahun terakhir, cetak biru penanggulangan terorisme, pola koordinasi BNPT dan lembaga lain, serta rencana pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme.
Dalam paparannya, Boy yang turut didampingi beberapa pejabat BNPT, menjelaskan BNPT telah membuat rencana aksi nasional penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme (RAN PE).
"Rencana aksi itu, dapat menjadi acuan bagi kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk menyusun program-program pencegahan radikal terorisme serta ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme," kata Boy.
Ketua DPR Harap Sektor Perdagangan Tetap Jadi Penggerak Kesejahteraan Masyarakat
DPR Anggap Wacana Kewarganegaraan Ganda Diaspora Angin Segar
Legislator Apresiasi Dinas Ekonomi Kreatif Sulsel dengan Beberapa Catatan
Boy, juga menegaskan istilah "ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme" merupakan satu frase yang harus disebut secara utuh sebagaimana mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021.
Ia menjelaskan istilah itu merujuk pada potensi aksi radikal terorisme di tingkat hulu.
Kendati demikian, penggunaan istilah ekstremisme oleh BNPT dikritik oleh salah satu anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Romo HR Muhammad Syafi`i atau yang akrab disapa Romo.
Romo mempertanyakan asal mula penggunaan istilah ekstremisme pada perpres serta rencana aksi BNPT.
"Ekstremisme ini sesuatu makhluk baru yang berdiri sendiri, yang lahirnya tidak lewat kajian antara pemerintah dan rakyat dalam hal ini direpresentasikan oleh DPR RI, sehingga dalam praktiknya tidak tertutup kemungkinan ada multitafsir," ujar Romo, yang pernah menjabat sebagai Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorisme.
Ia pun menyampaikan kekhawatirannya bahwa penggunaan istilah ekstremisme tanpa disertai pembahasan yang jelas dan menyeluruh dapat menimbulkan ketakutan-ketakutan di tengah masyarakat.
"Kita membutuhkan guidance (panduan, Red) yang jelas atau tidak karet, kalau tidak ingin yang lebih revolusioner mengusulkan pembatalan Perpres Nomor 7 tentang Ekstremisme, karena ini menimbulkan ketakutan-ketakutan baru," kata Romo.