Rabu, 10/02/2021 14:47 WIB
Jakarta, Jurnas.com - Pejabat senior militer Aljazair, Bouzid Boufrioua, meminta Prancis untuk bertanggung jawab atas limbah yang tersisa di Sahara setelah uji coba nuklirnya di sana pada 1960-an.
Brigadir Jenderal Boufrioua adalah kepala departemen teknik tempur Komando Angkatan Darat dan membuat komentarnya selama wawancara yang diterbitkan dalam Majalah Tentara Aljazair edisi Februari.
Otoritas kolonial Prancis melakukan serangkaian uji coba nuklir di Sahara Aljazair antara tahun 1960 dan 1966. Tujuh belas uji coba dilakukan sekaligus.
Lembaga negara Aljazair dan organisasi masyarakat sipil telah menuntut agar Prancis mengungkapkan lokasi limbah nuklirnya di Sahara.
Aljazair Kutuk Keputusan Prancis Kurangi Jatah Visa
Prancis Minta NATO Turun Tangan Atasi Krisis Afghanistan
Takut Covid-19, Prancis Larang Warga Melancong ke Indonesia
"Enam puluh tahun setelah uji coba nuklirnya, Prancis masih menolak mengungkapkan lokasi limbah nuklirnya dan memberi kompensasi kepada para korban penyakit akibat radiasi," kata majalah itu dilansir Middleeast, Rabu (10/02).
Boufrioua menunjukkan bahwa gelombang pasang telah mengubah masalah seperti itu. "Pada 7 Juli 2017, 122 negara anggota Majelis Umum PBB meratifikasi perjanjian baru untuk melarang penggunaan senjata nuklir."
Dia menjelaskan bahwa perjanjian itu secara jelas dan eksplisit mengakui prinsip `pencemar membayar. "Ini adalah pertama kalinya komunitas internasional meminta negara-negara bersenjata nuklir untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu,"katanya.
Perjanjian itu mulai berlaku pada Januari tahun lalu. Namun, negara-negara seperti Prancis, Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan China menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Mereka adalah negara-negara yang senjata nuklirnya memberi mereka "otoritas" untuk menjadi satu-satunya anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dengan masing-masing memiliki hak untuk memveto resolusi apa pun.