Uni Eropa Kutuk Eksekusi Mati Navid Afkari di Iran

Selasa, 15/09/2020 09:01 WIB

Brussels, Jurnas.com - Uni Eropa mengutuk eksekusi mati terhadap pelaku pembunuhan dalam demonstrasi anti-pemerintah, Navid Afkari, di Iran pada Sabtu pekan lalu.

"Uni Eropa mengutuk eksekusi ini dengan sangat kuat," kata juru bicara urusan luar negeri Uni Eropa Peter Sano dikutip dari Arab News pada Selasa (15/9).

Uni Eropa menentang penggunaan hukuman mati dalam segala situasi. Eksekusi mati terhadap atlet gulat berusia 27 tahun itu dinilai telah menimbulkan kekhawatiran khusus.

"Hak asasi manusia tetap menjadi fitur utama dari keterlibatan kami dengan Iran," terang Stano.

"Kami akan terus terlibat dengan otoritas Iran dalam masalah ini, termasuk melalui perwakilan Uni Eropa lokal di Teheran dan juga dalam kasus individu seperti eksekusi baru-baru ini," sambung dia.

Di Berlin, juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman juga mengutuk eksekusi tersebut.

"Ada banyak keraguan tentang supremasi hukum dalam proses persidangan, dan kami juga menanggapi dengan sangat serius tuduhan yang diakui Navid Afkari hanya di bawah penyiksaan," kata juru bicara tersebut.

Afkari, dieksekusi pada Sabtu pekan lalu di sebuah penjara di Shiraz, setelah dinyatakan bersalah menikam sampai mati Hossein Torkman pada 2 Agustus 2018 selama protes anti-pemerintah.

Shiraz dan beberapa pusat kota lainnya di seluruh Iran telah menjadi tempat protes dan demonstrasi anti-pemerintah pada hari itu, karena kesulitan ekonomi dan sosial.

Komite Olimpiade Internasional mengatakan terkejut dengan eksekusi tersebut, sebab permohonan dari para atlet di seluruh dunia dan badan-badan internasional telah gagal untuk menghentikan eksekusi mati.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebelumnya memohon kehidupan Afkari awal bulan ini, dengan mengatakan "satu-satunya tindakannya adalah demonstrasi anti-pemerintah di jalanan."

Brussels sering mengutuk dugaan pelanggaran hak asasi di Iran, tetapi tetap berpegang pada kesepakatan nuklir internasional dengan Iran meskipun ada tekanan AS untuk mengembalikan sanksi.

Inggris, Prancis, Jerman, China, dan Rusia sedang berjuang untuk menyelamatkan Pakta Nuklir 2015, meskipun Iran meningkatkan aktivitas nuklirnya sejak Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan tersebut pada 2018.

Teheran menegaskan pihaknya berhak melakukan aktivitas nuklir di bawah perjanjian, setelah penarikan Washington.

TERKINI
Aksi Demo Mahasiswa di AS Tanda Kesadaran Global Israel Negara Penjajah Nurul Ghufron Tak Hadir, Dewas KPK Terpaksa Tunda Sidang Etik Komisi IV Dorong Pariwisata di NTT Harus Didukung Sektor Pertanian, Perikanan, dan Peternakan Komisi IV: Taman Nasional Komodo Harus Dijaga Kelestariannya