Selasa, 10/09/2019 06:44 WIB
Riyadh, Jurnas.com - Arab Saudi mengumumkan rencan memproduksi dan memperkaya uranium di masa depan untuk program tenaga nuklirnya yang akan memasuki tahap operasional dengan dua reaktor atom.
Menteri Energi Arab Saudi, Abdulaziz bin Salman, mengatakan, Riyadh bermaksud untuk mendiversifikasi campuran energinya dan melanjutkan siklus penuh program nuklirnya, termasuk produksi dan pengayaan uranium untuk bahan bakar atom.
"Kami melanjutkannya dengan hati-hati ... kami sedang bereksperimen dengan dua reaktor nuklir," kata menteri yang baru dilantik itu pada konferensi energi di Abu Dhabi, Senin (9/9).
Pejabat Saudi itu juga membeberkan rencana Riyadh untuk mengeluarkan tender untuk dua reaktor nuklir pertama kerajaan itu. Proses tender itu akan dilakukan tahun depan.
AS Sebut Tidak akan Terlibat Perang dalam Konflik Bersenjata Iran-Israel
Dwayne Johnson Rahasiakan Pilihannya untuk Pilpres 2024 AS Mendatang
Film Badarawuhi Di Desa Penari Tayang di USA, Ini Harapan Produser Manoj Punjabi
Perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat (AS), China, Rusia, Korea Selatan dan Prancis terlibat dalam pembicaraan awal tentang proyek yang diperkirakan bernilai miliaran dolar.
Arab Saudi mengklaim ingin memanfaatkan teknologi nuklir untuk tujuan damai meski pengayaan uranium adalah langkah sensitif dalam siklus bahan bakar nuklir karena dapat membuka kemungkinan penggunaan bahan oleh militer.
Kepedulian terhadap ambisi nuklir Arab Saudi meningkat karena catatan gelap rezim tersebut tentang pelanggaran hak asasi manusia, khususnya penahanan aktivis hak-hak perempuan dan pembunuhan terhadap jurnalis Saudi Jamal Khashoggi di Turki, serta perang brutalnya di Yaman.
Pangeran Mahkota Saudi Mohammad bin Salman meletakkan dasar reaktor riset nuklir pertama kerajaan itu November lalu di tengah perundingan nuklir dengan Amerika Serikat.
Riyadh menolak untuk menyetujui perlindungan, yang melarangnya menggunakan teknologi nuklir untuk tujuan militer. Mohammad bin Salman, menyatakan bahwa Arab Saudi akan segera memperoleh senjata nuklir jika Iran megembangkannya.
Riyadh adalah kritikus terhadap perjanjian nuklir penting 2015 antara Iran dan negara-negara dunia yang membatasi program energi nuklir Teheran dengan imbalan penghapusan sanksi terkait nuklir terhadap Republik Islam.
Terlepas dari upaya AS untuk membunuh kesepakatan itu, dokumen itu, yang secara resmi disebut Rencana Aksi Bersama Komprehensif, telah dipuji dunia sebagai kemenangan diplomatik dan kesaksian atas kegiatan nuklir damai negara itu.