Perbedaan Pendapat AS-Rusia soal Presiden Sah Venezuela

Rabu, 20/03/2019 08:10 WIB

Roma, Jurnas.com - Pembicaraan tingkat tinggi antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia untuk meredakan krisis Venezuela berakhir pada Rabu (20/3). Kedua belah pihak masih berselisih soal legitimasi Presiden Venezuela, Nicolas Maduro.

Rusia menegaskan, Maduro tetap menjadi satu-satunya pemimpin negara yang sah sementara AS dan banyak negara Barat lainnya mendukung Juan Guaido, kepala Majelis Nasional yang mengajukan ketentuan konstitusional pada Januari untuk mengambil kepresidenan sementara.

"Tidak, kami tidak datang untuk menyatukan pikiran, tapi saya pikir pembicaraan itu positif dalam arti bahwa kedua belah pihak muncul dengan pemahaman yang lebih baik tentang pandangan pihak lain," kata perwakilan khusus A.E. Elliot Abrams kepada wartawan.

Pihak Rusia juga mengatakan, kedua belah pihak kini memahami sudut pandang mereka masing-masing dengan lebih baik setelah pertemuan yang berlangsung dua jam di Roma meski kepala delegasi Moskow, Wakil Menteri Luar Negeri Sergei Ryabkov harus bersikap terus terang.

"Mungkin kami gagal mempersempit posisi pada situasi ini ...," kata Ryabkov dikutip kantor berita Rusia, Tass.

"Kami berasumsi bahwa Washington memperlakukan prioritas kami dengan serius, pendekatan dan peringatan kami," sambungnya.

Ryabkov juga mengatakan, perundingan itu sulit tetapi jujur dan bahwa Moskow memperingatkan Washington untuk tidak melakukan intervensi militer di Venezuela.

Abrams mengatakan siapa yang mendapat gelar presiden di Venezuela masih menjadi titik pertikaian.

Ia menyebut pertemuan pada Rabu itu bermanfaat, substantif dan serius dan mengatakan kedua belah pihak sepakat melihat keseriusan krisis di negara itu. Ryabkov mengatakan Rusia semakin khawatir dengan sanksi AS terhadap negara Amerika Latin itu.

Beberapa jam sebelumnya, AS menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan pertambangan emas Venezuela yang dikelola pemerintah Minerven dan presidennya, Adrian Perdomo.

Para perwira militer berpangkat tinggi dipandang penting menjaga Maduro tetap berkuasa dalam menghadapi krisis ekonomi hiperinflasi yang menyebarkan kelaparan dan penyakit yang dapat dicegah serta menyebabkan eksodus sekitar 3 juta orang sejak 2015.

Pemerintah Maduro, yang mempertahankan dukungan Rusia dan China, mendapat kecaman internasional yang luas setelah terpilih kembali tahun lalu dalam pemungutan suara yang dianggap penipuan.

Abrams menegatakan, selama beberapa bulan ke depan ekspor minyak vital Venezuela akan turun di bawah satu juta barel per hari dan ekspornya akan menurun sekitar 50.000 barel per bulan.

"Ini bencana bagi Venezuela," kata Abrams.

TERKINI
Perang Epik Rebutan Kilang Anggur, Brad Pitt dan Angelina Jolie Saling Menuduh Milla Jovovich Ungkap Dirinya Pernah Jadi Baby Sitter Anak-anak Bruce Willis dan Demi Moore Akhirnya Britney Spears Benar-benar Bebas dari Ayahnya Setelah Konservatori Usai 2 Tahun Lalu Scarlett Johansson Dampingi Suaminya Colin Jost Jadi Penghibur di Gedung Putih