Senin, 18/06/2018 06:05 WIB
Yaman - Serangan udara koalisi yang dipimpin Saudi dan Emirat Arab di kota pelabuhan Yaman, Hudaida, membuat hampir 4.500 kepala rumah tangga terpaksa meninggalkan rumah mereka.
"Suara pesawat tempur di udara tidak pernah berhenti, siang dan malam," kata Manal Qaed, seorang wartawan independen yang bekerja dengan pusat komunitas bagi para pengungsi di Hudaida, kepada Al Jazeera melalui telepon pada hari Minggu.
"Pesawat-pesawat terbang sangat rendah di langit; kami mendengar setiap ledakan di pinggiran kota," tambah pria berusia 34 tahun itu.
"Semua orang khawatir. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi," sambungnya.
Tajir Gara-gara Konser Selalu Sold Out, Taylor Swift Tolak Rp 144 Miliar Tampil di Uni Emirat Arab
Tajir Gara-gara Konser Selalu Sold Out, Taylor Swift Tolak Rp 144 Miliar Tampil di Uni Emirat Arab
DPR Dukung Strategi Mitigasi Kemenag Wujudkan Haji Ramah Lansia di 2024
Untuk diketahui, setelah tiga tahun perang di Yaman, pasukan pemerintah yang didukung koalisi kembali bertempur di pelabukan Hudaida, untuk memaksa milisi Houthi melepaskan kekuasaannya atas pelabuhan Laut Merah yang penting di kota itu.
Dijelaskan PBB, pelabuhan itu bertanggung jawab atas lebih dari 70 persen impor negara itu sebelum 2015. Namun koalisi menyebut pelabuhan itu digunakan pemberontak menyelundupkan senjata dari Iran.
Pasukan Saudi dan Uni Emirat ingin menguasai pelabuhan itu untuk diserahkan kepada komite yang diawasi PBB atau kepada pemimpin Yaman yang diasingkan, Abd Rabbu Mansour Hadi.
Dua pertiga dari populasi Yaman yang berjumlah 27 juta orang bergantung pada bantuan dari pelabuhan Hudaida dan 8,4 juta beresiko kelaparan. Itulah mengapa memimpin PBB menggambarkan kondisi Yaman sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Menjelang pertempuran pada 13 Juni kemarin, PBB memperingatkan bahwa 250.000 orang Yaman bisa mati jika pertempuran memotong pasokan penting yang bersumber dari pelabuhan Hudaida. (Al Jazeera)
Keyword : Hudaida Yaman Arab Saudi Emirat Arab