Senin, 14/08/2023 22:51 WIB
JAKARTA, Jurnas.com - Politik di Indonesia bungkusnya demokrasi modern, tetapi isinya sangat tradisional, dan bahkan buruk karena tidak bisa ditebak. Kadang-kadang bercampur klenik. Tidak ada acuan ideologis, tidak juga ada dalam kerangka akademis “text book”, yang contohnya kebanyakan Barat.
Demikian disampaikan Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J Rachbini melalui "Catatan atas Peta Politik Baru" pasca Partai Golkar dan PAN menjadi koalisi Partai Gerindra yang diterima jurnas.com, Senin (14/8/2023).
"Siapa yang menyangka bahwa Jokowi secara samar dan diam-diam membuat kendaraan koalisi, yang menyebabkan `head to head` dengan Megawati," kata Prof. Didik.
"Koalisi ini kemudian menjadi kekuatan politik yang nyata. Ini terjadi setelah PAN dan Golkar bergabung atas `titah politik` Jokowi," imbuhnya.
Tak Jadi Menikah, Channing Tatum dan Zoe Kravitz Batalkan Pertunangan setelah 3 Tahun Bersama
Heidi Klum Takut Membayangkan Kostum Halloween Epiknya tak Sempurna
Tamu Wanita Harus Seksi, Sean Diddy Combs Pakai Timbangan untuk Syarat Masuk ke Pesta Liarnya
Prof. Didik mengatakan, jekuatan Jokowi sebagai presiden dan popularitas yang tinggi karena kucuran subsidi yang besar dari APBN kepada rakyat bisa mewujudkan koalisi baru yang didukung dengan titah politiknya. Jokowi memanfaatkan popularitas dan kekuatan politiknya untuk menjadi king maker di sudut sendiri, yang kemudian berhadapan dengan PDIP.
"Tetapi kita tidak tahu pasti kekuatan ini bisa saja melemah setelah penetapan Capres selesai. Kemudian melemah lagi menjelang periode kedua berakhir," katanya.
Menurut Prof. Didik, kongsi Jokowi-Megawati bubar dan pecah karena tidak nyaman menjadi petugas partai. Status petugas partai ini terus berjalan atau tepatnya partai mensubordinasi presiden secara terus-menerus di muka publik.
"Jokowi-Megawati berhadap-hadapan secara politik dan keduanya telah menjadi king maker untuk calonnya masing-masing," tegas Prof. Didik.
PDIP sekarang berada di sudut sendiri dan berhadapan dengan banyak lawan. Semua partai besar dan menengah sudah hampir tpasti bergabung dengan koalisi sendiri. Partai Golkar, PAN, Demokrat, dan PKS sudah berlabuh dalam koalisi masing-masing.
"Mitra koalisi PPP tidak terlalu signifikan sehingga nanti berpengaruh terhadap elektabilitas Ganjar Pranowo," tuturnya.
Prof. Didik juga menyampaikan, saat ini Megawati menghadapi banyak lawan, yang berat, baik Surya Paloh dan SBY. Sekarang lawan baru yang mengejutkan adalah Jokowi sendiri, yang berhasil mewujudkan koalisi kelas berat. PDIP semakin sulit dan berat.
"Banyak sekali kritik atas perubahan ini karena masalah PDIP sendiri, yang dianggap terlalu arogan," kata Prof. Didik.
Melihat perkembangan politik seperti sekarang, Prof. Didik menegaskan jangan berharap pemerintah memikirkan rakyat. Pemerintahan sudah setengah bubar dengan polah dan format politik cawe-cawe seperti ini.
"Tahun 2023-2024 ini adalah tahun terburuk bagi kebijakan ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain-lain. Jangan berharap ekonomi akan tumbuh 6 persen atau 7 persen seperti janji kampanye dulu," katanya.
Prof. Didik juga melihat, setelah titah Jokowi, Golkar dan PAN resmi bergabung dengan Gerindra dan PKB, maka semakin jelas bahwa koalisi Pemerintahan pecah berkeping-keping menjadi tiga bagian. Terlihat dari konfigurasi tiga koalisi partai dengan bakal calon presidennya masing-masing.
"Presiden dan menteri-menterinya tidak mungkin bekerja sepenuh hati. Tenaga, pikiran dan waktunya habis tercurahkan untuk perang politik, untuk kemenangan 2024," ujarnya.
Namun demikian, lanjutnya, ada yang perlu dicatat bahwa demokrasi yang mundur dan buruk sekarang ini hampir masuk jurang ketika kekuatan yang berkuasa bermanuver untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi 3 periode di dalam UUD 1945.
Semua partai tunduk terhadap gagasan keblinger ini dan sudah tinggal mewujudkannya dalam sidang paripurna MPR. Tetapi Megawati dan PDIP sebagai partai terbesar menolak takut Jokowi mengalami nasib seperti Bung Karno.
"Dalam hal ini Megawati telah menyelamatkan demokrasi dari provokasi politik untuk amandemen undang-undang dasar, yang sudah digiring menuju tiga periode," kata Prof. Didik.
Berdasarkan pengamatannya Prof. Didik juga melihat politik sekarang bergerak dengan kemauan dan kepentingan elite pemimpinnya.
Sehingga Prof. Didik menegaskan, para pendukung Capres ke depan sebaiknya tidak usah militan radikal dengan membangun peradaban politik jahiliyah dan demokrasi bajingan, yang dilakukan dengan cara-cara menghasut, menjadi buzzer pemecah belah warga bangsa, dan sejenisnya.
"Itu telah terjadi dalam pilpres yang lalu dimana sesama warga dibelah dan membelah menjadi kutub Cebong dan Kampret," tuturnya.
Mengapa? lanjut Prof. Didik, sekarang cebong dan kampret bingung sebab pimpinannya berganti peran. Yang kampretnya menjadi cebong dan yang cebong menjadi kampret. Sebagai contoh PSI sedang bingung dan pusing tujuh keliling apakah ikut Ganjar atau Prabowo?
"Setelah Jokowi membentuk koalisi baru berhadapan dengan Megawati, maka tidak ada lagi cebong dan kampret. Permusuhan di masa lalu tidak perlu lagi karena pemimpinnya memang tidak dalam posisi head to head tapi saling merangkul untuk kepentingan dirinya masing-masing," tutup Prof. Didik.