Jalan Terjal Eliminasi Kasus Kusta di Indonesia

Senin, 30/01/2023 22:53 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Upaya mengeliminasi kusta di Indonesia menghadapi jalan terjal. Kompleksitas persoalan yang terjadi di level pemerintah hingga masyarakat, membuat penyakit tropis ini sulit dihilangkan.

Direktur Eksekutif Yayasan NLR Indonesia, Asken Sinaga mengungkapkan, salah satu persoalan di tataran pemerintah ialah adanya ego sektoral antar kementerian. Kerap kali terjadi tumpang tindih program untuk kebijakan yang seharusnya saling berkaitan.

Dalam kegiatan `Lokakarya Nasional dalam Rangka Neglected Tropical Diseases 2023` di Jakarta pada Senin (30/1), Asken menyebut terdapat tiga zero (nihil) dalam program penanganan kusta. Yakni, zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil stigma dan diskriminasi).

"Beberapa stakeholder sudah menggunakan ini (tiga zero), lalu setiap zero mereka membuat program, kebijakan, dan inisiatif sendiri-sendiri. Terpisah-pisah. Kekeliruan akan kelihatan kalau dibuat terpisah, ada tembok-tembok di dalamnya," terang Asken.

"Sehingga, pelaku-pelaku akan merasa ini bidang zero transmisi bukan saya yang punya, tapi direktorat itu. Zero exclusion bukan saya yang punya tapi di Kemensos. Itu yang terjadi di kusta," sambung dia.

Padahal, lanjut Asken, program-program kusta antara zero transmission, zero disability, dan zero exclusion tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

"Zero transmisi aktivitasnya terkait dengan disability dan exclusion. Apalagi dengan isu baru, penghapusan stigma. Stigma itu ada di mana-mana," ujar dia.

Hal senada juga diungkapkan Komisioner Komisi Nasional Disabilitas, Famimah Asri Mutmainah. Menurut dia, isu kusta yang selama ini bagian dari isu disabilitas, sering dilupakan oleh pemerintah.

"Selama ini pemerintah concern (perhatian) pada isu disabilitas, tapi isu kusta sedikit terlupakan. Padahal kusta juga isu disabilitas," tegas Famimah.

Kekurangan ini diakui oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengenalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Maxie Rein Rondonuwu. Dia mengatakan upaya eliminasi kusta di Indonesia masih terkendala banyak hal, meski sudah ada regulasi yang bisa dijadikan acuan, yakni Renstra Kemenkes dan Permenkes Nomor 11 Tahun 2019.

Keberpihakan kebijakan publik, sambung Maxie, juga berdampak pada minimnya anggaran untuk penanggulangan kusta di pusat dan daerah.

"Kami di pusat masih berjuang. Tahun lalu kami melakukan revisi-revisi untuk mengalokasikan tambahan untuk kusta dan penyakit-penyakit tropis lainnya," kata Maxie.

Di sisi lain, dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) puskesmas yang sudah ditingkatkan, tidak cukup untuk penanggulangan kusta. Sebab, dana operasional puskesmas terbagi untuk berbagai program kesehatan.

"(Dana operasional) tidak hanya untuk penyakit menular, tapi program lain. Sehingga, perlu support khusus dari pemerintah daerah," imbuh dia.

Maxie juga mengakui bahwa Indonesia gagal menanggulangi kusta, karena masih ada kasus kusta disertai disabilitas di Tanah Air. Tercatat, ada 6,37 persen dari 15.052 kasus kusta yang disertai disabilitas tingkat dua.

Kegagalan ini ditegaskan Maxie karena kusta saat ini sudah bisa diobati supaya tidak menimbulkan disabilitas, bahkan bisa dicegah jika kasus kusta diketahui secara dini.

"Artinya, deteksi dini penting kita lakukan. Begitu dapat (menemukan kasus), perlu diobati agar tidak menimbulkan disabilitas. Makin ada angka disabilitas, relevan dengan angka diskriminasi," terang dia.

Oleh karena itu, Maxie mengapresiasi kolaborasi antar stakeholder antara pemerintah daerah, organisasi, lembaga, masyarakat, dan individu yang ada saat ini, meski belum berjalan massif. Dia menekankan sinergitas tersebut penting untuk mengeliminasi kusta di Indonesia.

"Kerja sama lintas sektor termasuk sekolah, Kemdikbudristek, dinas pendidikan daerah, itu sangat penting," tutur dia.

Menurut data terbaru Kemenkes, jumlah kasus kusta yang terdaftar sepanjang 2022 sebanyak 15.052 kasus termasuk 12.095 kasus baru, dengan proporsi kasus baru tanpa cacat 82,87 persen, disabilitas tingkat dua 6,37 persen, dan kasus anak sebesar 9,89 persen.

Adapun provinsi dengan tingkat prevalensi tertinggi berada di Papua Barat (9,89), Maluku Utara (5,32), Papua (4,18), Maluku (2,08), Sulut (1,94), Gorontalo (1,24), dan Sulawesi Barat (1,10).

"Disabilitas tingkat dua pada 2022 sebesar 6,37 persen ini biasanya terjadi tangan, mata, dan kaki pada pasien baru kusta, karena terlambat penemuan kasus, terlambat pengobatan, dan terlambat penanganan reaksi kusta. Artinya, penularannya sudah meluas," tutup Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Imran Pambudi dalam kesempatan yang sama.

Stigma Masih Mengakar
Stigma juga menjadi akar masalah penanggulangan kusta di Indonesia. Imran Pambudi saat dihubungi Jurnas.com pada Minggu (29/1) membagi stigma menjadi tiga, yaitu stigma diri, stigma tenaga kesehatan, dan stigma masyarakat.

Menurut Imran, stigma umumnya memengaruhi perilaku, baik perilaku mencari kesembuhan, memberikan pelayanan, perilaku untuk melibatkan, dan perilaku melakukan tindakan afirmasi.

Artinya, penghapusan stigma kusta harus bekerja sama antara pasien kusta dan OYPMK, tokoh agama dan masyarakat, serta tenaga kesehatan dan pemerintah dalam rangka mendorong perubahan perilaku.

"Kita memang harus mengakui bahwa kita masih lemah dalam hal ini, namun pemerintah, khususnya Kemenkes, telah berkomitmen untuk menyasar persoalan stigma ini dengan lebih serius," tegas dia.

Untuk mengatasi stigma tersebut, Kemenkes menempuh sejumlah cara. Di antaranya mendengar dan meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan, untuk merumuskan cara terbaik mengatasi stigma kusta.

Hal ini sudah dilakukan pemerintah dalam setahun terakhir, dengan mengundang OYPMK, tokoh masyarakat, pemerintah daerah, organisasi profesi, kementerian/lembaga, rumah sakit, dan puskesmas.

"Mereka semua sudah memberikan masukan. Hasilnya, sebuah strategi baru penghapusan stigma sudah kita rumuskan dalam Rencana Aksi Nasional yang baru," ujar dia.

"Upaya kemenkes dan pemerintah berikutnya adalah kerjasama dengan mitra strategis seperti LSM atau ormas yang spesialisasinya di bidang kusta dan inklusi, seperti organisasi OYPMK dan NLR Indonesia. Kekuatan dan jejaring mereka kita buat menjadi sejalan atau terintegrasi dengan progam pemerintah," lanjut Imran.

Bersama NLR Indonesia, sambung Imran, pemerintah melaksanakan program Suara untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA), yang bertujuan mengedukasi mastarakat umum dan masyarakat terpilih mengenai kusta dan konsekuensinya, baik konsekuensi medis maupun non-medis.

TERKINI
Perang Epik Rebutan Kilang Anggur, Brad Pitt dan Angelina Jolie Saling Menuduh Milla Jovovich Ungkap Dirinya Pernah Jadi Baby Sitter Anak-anak Bruce Willis dan Demi Moore Akhirnya Britney Spears Benar-benar Bebas dari Ayahnya Setelah Konservatori Usai 2 Tahun Lalu Scarlett Johansson Dampingi Suaminya Colin Jost Jadi Penghibur di Gedung Putih