Kisah Rusdin Mengais Asa di tengah Stigma Kusta

Minggu, 12/12/2021 15:09 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Rusdin menyandarkan dua tongkatnya perlahan. Celah bangku taman yang agak sempit, membuatnya sedikit kesulitan untuk duduk dalam posisi yang nyaman.

Rusdin berperawakan kurus dengan kulit coklat gelap. Rambutnya dipotong tipis di bagian samping dengan poni sekira 10 sentimeter di sisir ke arah kanan. Dan bila diperhatikan saksama, dia hanya bertumpu pada satu kaki.

Ya, pria bernama lengkap Rusdin Mujahid itu hanya memiliki satu kaki. Dua bulan lalu, kaki kanannya terpaksa diamputasi akibat kusta. Menurut pengakuan Rusdin, kusta menyebabkan pengkeroposan pada tulang lututnya hingga berakhir amputasi.

Meski demikian, bukan baru-baru ini Rusdin mengalami kusta. 20-an tahun sebelumnya, ketika dia duduk di bangku SD, bercak-bercak putih yang merupakan gejala kusta muncul di bagian punggungnya.

"Seperti panu, tapi mati rasa" kata Rusdin kepada Jurnas.com saat ditemui usai seminar road show campus to campus NLR Indonesia bertajuk `Peran Kampus untuk Indonesia Sehat dan Bebas Kusta` sebagai bagian dari program Suara untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA) pada Kamis (9/12) lalu.

Rusdin masih ingat betul, sewaktu masih siswa kelas 4 SD, petugas dari Dinas Kesehatan Cirebon datang ke sekolah, untuk melakukan sosialisasi mengenai kusta. Petugas tersebut memaparkan gejala kusta, sama dengan gejala yang dialami Rusdin.

Rusdin ketakutan. Dia takut bercak-bercak itu membuatnya malah dijauhi oleh teman-teman. Tanpa pikir panjang, Rusdin kabur dari sekolah untuk menghindari pemeriksaan tersebut.

Singkat cerita, ketika memasuki jenjang SMP, kondisi Rusdin kian memburuk. Kulitnya menghitam. Tak jarang dia merasa tubuhnya panas. Hingga akhirnya, pihak sekolah meminta Rusdin memeriksakan diri ke puskesmas setempat.

"Setelah diperiksa ke puskesmas, ternyata saya dinyatakan memiliki penyakit kusta," kenang Rusdin.

Rusdin memutuskan berhenti sementara dari sekolah karena penyakit itu membuatnya tak bisa mengikuti pembelajaran. Apalagi, acap kali sehabis meminum obat, tubuhnya lemas dan kakinya sulit untuk dipakai berjalan. Terapi pengobatan ini berlangsung selama satu tahun.

Masa berobat setahun tak sepenuhnya membuat Rusdin kembali seperti sedia kala. Dia kembali ke sekolah, dengan konsekuensi harus bersusah payah berjalan dengan berpegangan di tembok. Rusdin juga tidak bisa mengikuti mata pelajaran olahraga.

Meski begitu, Rusdin termasuk siswa cerdas. Dia tak pernah keluar dari deretan ranking 10 besar hingga lulus. Selain mata pelajaran olahraga, Rusdin mampu mengikuti pembelajaran dengan baik.

"Pas kelas 3 SMP juga masih ranking, masuk 10 besar di USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional, Red)," ujar Rusdin.

Sayangnya, prestasi Rusdin di tengah upaya melawan penyakit kusta, tak serta-merta membuatnya mendapatkan sambutan positif. Selama tiga tahun di SMP, Rusdin kerap dijauhi oleh teman-temannya, dengan alasan takut tertular kusta.

Diskriminasi terburuk justru terjadi saat Rusdin duduk di jenjang SMA. Seluruh teman sekelasnya, kompak memprotes sekolah agar mengeluarkan Rusdin. Dikhawatirkan, Rusdin menularkan kusta pada siswa-siswa yang lain.

"Bahkan saya pernah didemo oleh orang tua murid agar tidak sekolah di situ," kata dia.

Rusdin lulus SMA dengan menyisakan luka di dalam hatinya. Tahun 1997 hingga 10 tahun setelahya, Rusdin sempat mengalami depresi karena penolakan orang-orang di sekitarnya, termasuk diskriminasi yang dilakukan keluarganya sendiri.

"Waktu saya terkena kusta itu enggak boleh makan bareng satu piring, enggak boleh campur, ataupun berbarengan gitu. Harus dipisahin, terus tempat tidur juga kan katanya enggak boleh dicampur, harus dipisah," imbuh Rusdin.

Sampai di suatu fase, kata Rusdin, dia merasa menjadi orang yang tidak berguna. Bahkan, Rusdin pernah tiga kali ingin melakoni bunuh diri karena kecewa dengan dirinya sendiri.

Forum Komunikasi Disabilitas Cirebon (FKDC) menyelamatkan Rusdin pada 2007 silam. Setelah berkenalan dengan banyak orang yang bernasib miring seperti dirinya, Rusdin akhirnya sadar masih memiliki banyak kesempatan untuk melanjutkan hidup. Dari situ pula, muncul keinginan Rusdin melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi.

"Sekarang saya sedang kuliah semester 7 di Universitas Muhadi Setiabudi, Brebes ambil jurusan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Red)," ungkap Rusdin.

Di sela-sela waktu menjalani perkuliahan, Rusdin juga menjadi tenaga pengajar di SLB Losari, Cirebon sejak 2015 sebagai guru menggambar.

Dan di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Rusdin bercita-cita untuk mendirikan sebuah yayasan yang diperuntukkan bagi anak-anak disabilitas, khususnya kusta. Dia tak ingin ada anak-anak lain yang mengalami kusta juga mendapatkan diskriminasi, seperti yang dia alami.

"Saya ingin berguna, makanya ketika saya memiliki ilmu pengetahuan masalah kusta, saya sebarkan ke teman-teman bahwa kusta itu bukan seperti yang mereka pikirkan, dianggap penyakit kutukan, mudah menular, dan harus dikucilkan. Kalau masyarakat paham tentang masalah kusta mungkin tidak akan seperti saya ini," tutur dia.

"Saya juga ingin punya yayasan yang menaungi terutama anak-anak disabilitas, bikin tempat bermain, karena saya rasa dulu tidak sempat untuk merasakan kesenangan permainan masa-masa kecil, jadi saya juga ingin membentuk suatu kelompok belajar dan bermain," imbuh Rusdin.

Untuk diketahui, stigma negatif terhadap Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYMPK) memang masih menjadi salah satu kendala dalam upaya mengeliminasi kusta di Indonesia.

Inilah yang menjadi alasan NLR Indonesia melalui program Suara untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA), mengajak mahasiswa untuk berperan aktif memberikan edukasi mengenai kusta di masyarakat.

Direktur NLR Indonesia, Asken Sinaga menekankan bahwa saat Indonesia berstatus sebagai negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan Brasil.

"Berkolaborasi dengan kampus, kami mengajak mahasiswa untuk berkarir di sektor kusta. Kami berharap mahasiswa aktif menyebarkan informasi soal kusta secara kreatif, juga adik-adik terjun sebagai ahli kusta," kata Asken.

Asken juga meminta mahasiswa turut membantu mempublikasikan fakta-fakta mengenai kusta, untuk melawan beragam hoaks dan mitos yang menyebabkan para penderita penyakit ini mendapatkan diskriminasi.

"Kusta itu bukan penyakit kutukan, bukan aib, bukan karena guna-guna. Kusta bisa disembuhkan dan tidak menular dengan gampang," tegas Asken.

TERKINI
Unggah Foto Dirinya Menangis, Instagram Justin Bieber Diserbu Penggemar Gara-gara Masalah Pita Suara, Jon Bon Jovi Anggap Shania Twain Adiknya Reaksi Taylor Swift saat The Tortured Poets Department Tembus 2,6 Juta Unit dalam Seminggu Disindir di Album TTPD Taylor Swift, Bagaimana Kabar Joe Alwyn Sekarang?