PLN Mau Bangun Pembangkit Listrik, DPR: Jangan Sampai Terjadi Krisis Energi

Kamis, 04/11/2021 10:24 WIB

Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menyoroti langkah PLN yang akan membangun sejumlah pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) dalam rangka mengejar target netral karbon 2060.

Menurut dia, untuk mewujudkan investasi yang memakan biaya hingga USD 500 miliar atau sekitar Rp7.125 triliun tersebut pemerintah harus memanfaatkan momen Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP26 di Glasgow, Skotlandia, untuk mencarikan mitra yang  dapat memberikan bantuan pinjaman dengan tingkat bunga yang ringan.

Pemerintah juga harus melobi negara-negara maju agar komit pada isi Perjanjian Paris. Tanpa pinjaman dana program energi hijau Mulyanto melihat  rencana PLN tidak dapat dilaksanakan. Kalau pun dipaksakan justru akan membahayakan keuangan PLN yang sudah kritis.

"Ini jumlah investasi yang tidak kecil, apalagi utang PLN sekarang masih sekitar Rp 500 triliun. Karena itu Pemerintah perlu membantu mencarikan dana dari program energi hijau yang sudah dijanjikan oleh negara-negara maju," ujar Mulyanto dalam pesan elektronik yang diterima, Kamis (4/11).

Wakil Ketua Fraksi PKS ini menegaskan, PLN memang perlu memulai mengembangkan pembangkit energi bersih. Tapi pelaksanaannya harus bertahap agar sistem ketahanan energi nasional tetap terjaga.

“Jangan sampai peralihan sistem pembangkit ini menyebabkan terjadinya krisis energi seperti yang terjadi di negara-negara Eropa,” terangnya.

Selain itu, Mulyanto minta peralihan sistem ini tidak membuat harga listrik menjadi lebih mahal. Sekarang saja tarif listrik PLN untuk pelanggan rumah tangga dua kali lebih mahal dibandingkan tarif listrik di Malaysia.

"Jangan sampai karena terdesak tuntutan internasional untuk netral karbon, maka yang dihasilkan PLN adalah listrik mahal yang memberatkan rakyat," kata dia.

Politisi PKS ini minta Pemerintah berhati-hati menindaklanjuti program energi hijau. Ia minta Pemerintah jangan terlalu jor-joran mengeluarkan biaya untuk melaksanakan program ini sementara negara-negara maju sendiri tidak total melaksanakan komitmennya.

"Sebelumnya AS melalui Presiden Trump menarik diri dari Perjanjian Paris. Inggris yang berkomitmen penuh dengan energi bersih, karena krisis energi, kembali menyalakan PLTU-nya. Begitu juga China. Jadi Pemerintah mesti berhati-hati melaksanakan program ini. Kalau bisa Pemerintah mendesak negara-negara maju untuk melaksanakan komitmennya mengalirkan pendanaan program energi hijau ke Indonesia," ujar Mulyanto.

Sesuai perjanjian Paris disepakati negara maju akan menggelontorkan dana sebesar USD 100 milyar/tahun atau sekitar Rp 1.400 triliun sejak 2020 untuk membantu negara berkembang melaksanakan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Dimana untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca tersebut sebesar 29 persennya diupayakan Indonesia atas usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.

"Karenanya kita jangan terlalu lugu dan didikte dengan target netral karbon internasional dengan segala cara (at all cost) meski harus mengorbankan rakyat dengan harga listrik yang mahal. Bagi kita listrik yang murah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat itu adalah yang utama.  Ini national interest kita," tandas Mulyanto.

TERKINI
Unggah Foto Dirinya Menangis, Instagram Justin Bieber Diserbu Penggemar Gara-gara Masalah Pita Suara, Jon Bon Jovi Anggap Shania Twain Adiknya Reaksi Taylor Swift saat The Tortured Poets Department Tembus 2,6 Juta Unit dalam Seminggu Disindir di Album TTPD Taylor Swift, Bagaimana Kabar Joe Alwyn Sekarang?