Secara tahunan posisi ULN November 2021 tumbuh rendah sebesar 0,1 persen (yoy) atau menurun dibandingkan dengan pertumbuhan ULN bulan sebelumnya sebesar 2,2 persen (yoy).
Rendahnya ULN Indonesia disebabkan penurunan posisi ULN pemerintah dan sektor swasta
Dalam Hasil Review atas Kesinambungan Fiskal 2020, BPK RI menyebutkan terjadi tren penambahan utang Indonesia dan biaya bunga yang melampaui Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga berbahaya bagi kondisi fiskal nasional.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menyebut, utang Indonesia mencapai Rp6.626,4 Triliun atau mencapai 59,70% dari aset negara.
Penelitian menunjukkan bahwa proyek Jalur Sutera (BRI) yang diinisiasi oleh China mengalami kemandekan, karena negara berpenghasilan rendah yang dilalui oleh proyek tersebut terlilit utang.
Total utang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp.6.554,56 Triliun per-Juni 2021 dan berpotensi naik kembali setelah penambahan utang Rp.515,1 Triliun yang sedang dicari Menkeu tersebut.
Posisi ULN Pemerintah pada Mei 2021, tercatat sebesar 203,4 miliar dolar AS, turun 1,3 persen dibandingkan dengan posisi ULN Pemerintah April 2021.
Pasalnya, utang luar negeri yang lebih dari Rp.6.000 Triliun membuat BPK khawatir terhadap kemampuan Indonesia membayar utang dan bunga.
Tingginya gap antara pendapatan dan belanja negara membuat penambahan utang luar negeri (ULN) tidak bisa terelakkan. Karenanya, pengelolaan dan pemanfaatan utang luar negeri serta hibah harus lebih produktif dan tepat sasaran.
Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad mempertanyakan skenario besar atau grand design dalam menghadapi profil utang luar negeri dan jatuh tempo pada 5 hingga 15 tahun mendatang. Sebab rasio utang pemerintah terus mengalami peningkatan dari 30,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019 menjadi 39,4 persen dari PDB pada tahun 2020, akibat defisit keuangan negara yang disebabkan pandemi Covid-19.