Jum'at, 19/04/2024 13:11 WIB

Pustaka Institute Pertanyakan Kelanjutan Kasus Ponsel Ilegal di PN Jaktim

Kuat dugaan oknum Bea dan Cukai Kanwil Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah ‘kongkalikong`

Pustaka Institute, Rahmat Sholeh

Jakarta — Direktur Eksekutif Pusat Analisi dan Kajian Publik (Pustaka Institute), Rahmat Sholeh menyoroti kasus bos PS Store inisial (PS) yang terlilit penjualan ponsel ilegal berbagai merek atau black market, yang disebutnya seperti bak redup di telan bumi.

Dijelaskan Rahmat, kasus tersebut baru ramai pada pertengahan 2020. Padahal, sejak April 2017 PS sudah ditangkap dan diharuskan bolak balik wajib lapor, hingga akhirnya yang bersangkutan terbebas dari jerat hukum.

“Kuat dugaan oknum Bea dan Cukai Kanwil Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah ‘kongkalikong’,” kata Rahmat dalam keterangan persnya, Jakarta, Senin (9/8/2021).

PS sendiri, lanjut dia, secara terbuka mengaku berusaha kooperatif sejak 2017 terhadap Bea dan Cukai Kanwil Jakarta, bahkan dibuktikan dengan menyerahkan uang Rp.500 juta, aset rumah, bahkan buku rekening sebagai jaminan. “Saya sampai tidak punya rekening,” begitu keterangan PS saat itu.

Artinya, menurut Rahmat, dari kurun waktu 2017-2020 tidak dilakukan proses hukum secara benar oleh aparat berwenang. Dia mensinyalir istilah kooperatif yang disampaikan PS itu hanya lebih kepada urusan ‘setoran’ kepada oknum aparat.

“Itulah alasan kenapa baru 2020 kasus ini muncul ke permukaan,” urai Rahmat.

Padahal, ditegaskan Rahmat, apa yang diperbuat PS jelas memiliki konsekuensi hukum, yakni telah melanggar UU No.17 /2006 tentang Kepabean terutama Pasal 103 huruf (d) sebagaimana juga dimaksud Pasal 102, dengan ancaman paling lama 8 tahun kurungan penjaran dan/atau denda paling tinggi Rp.5 miliar. Regulasi ini merupakan perubahan dari UU RI No.10/1995.

“Kasus ini sempat disidangkan di PN Jatim. Pada 10 Agustus 2020, PS didakwa melakukan tindak pidana karena menimbun dan menjual barang impor ilegal dengan bukti 191 ponsel yang disita dari tiga gerai PS Store di beberapa lokasi,” bebernya.

Dari situ, pihak Bea dan Cukai melacak kerugian negara, dengan total Rp 26.332.919 dari segi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPH). Hitungan yang sesungguhnya sangat kecil jika dibandingkan dari keuntungan yang PS sudah peroleh.

Dalam persidangan selanjutnya pada Oktober 2020, tuntutan terhadap PS jauh lebih ringan, tidak lagi bicara mengenai kurungan penjara, namun hanya diminta membayarkan denda Rp5 miliar subsider 4 bulan penjara. “Artinya ia terbebas dakwaan tindak pidana,” ungkap Rahmat.

Ajaibnya, kata dia, pada November 2020, PN Jaktim menyatakan PS tidak terbukti bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan.

“Dilihat dari kronologis dan prosesnya, kasus tersebut mengindikasikan adanya dugaan suap menyuap di antara oknum Bea dan Cukai dan pengadilan, yang membebaskan PS dari jeratan hukum,” ujarnya.

“Kita pernah mengunjungi salah satu gerai PS Store di Bilangan Condet, Jakarta Timur tampak terasa ganjil lantaran tak pernah sepi pembeli. Catatan kami, harga ponsel yang dibandrol sekitar 30 persen lebih murah daripada harga pasaran,” jelas dia.

Praktik PS ini, Rahmat melanjutkan, tentu merugikan negara karena kehilangan potensi pendapatan pajak yang jika diperkirakan angkanya mencapai Rp. 2,8 triliun per tahun.

“Apabila peristiwa penyelundupan barang ilegal semacam itu dibiarkan terus menerus, sama saja artinya membajak penerimaan negara,” katanya.

Karena itu, dia pun mempertanyakan kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap kasus Putra Siregar. Sebab, terindikasi kuat masih terdapat kongkalikong di Kantor Pajak yang membuat Putra Siregar bisa tenang lolos seperti di Bea Cukai.

Menurut dia, bila dilihat dari potensi Pajak yang bisa dipungut dari penghasilan dan transaksi yang dilakukan PS Grup, bukan tidak mungkin DJP mendapatkan pemasukan ke Kas Negara sebesar 50 milyar.

“Hampir semua stakeholder yang terkait permasalahan ini ada di bawah Menkeu Sri Mulyani. Maka sudah saatnya aparat yang berwenang melakukan investigasi lebih jauh dan menindak oknum Bea dan Cukai, DJP, serta pengadilan yang terindikasi ikut terlibat dalam aktivitas yang melanggar hukum demi menyelamatkan uang negara,” pungkas Rahmat.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis bebas terhadap bos PS Store, Putra Siregar bin Imran Siregar. Hakim menilai Putra tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.

Perbuatan yang dimaksud adalah menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.

“Divonis bebas, menyatakan dakwaan tidak terbukti dengan pertimbangan bahwa tidak ada kesengajaan atau kelalaian Putra Siregar untuk menjual, menimbun barang-barang yang diduga belum selesai kepabeanannya,” ujar penasihat hukum Putra, Rizki Rizgantara seperti dikutip CNNIndonesia.com, Senin (30/11/2020).

KEYWORD :

Pustaka Institute Rahmat Sholeh black market bea dan cukai Kanwil Jakarta Kongkalikong hukum




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :