Jum'at, 19/04/2024 20:36 WIB

Happy Salma dan Widi Mulia Membedah Sajak Bung Karno

Sajak-sajak Abadi Bung Karno

Hapy Salma, Widi Mulia, dan pegiat sastra Garda Maharsi

Jakarta, Jurnas.com - Bung Karno sebagai "Bapak Bangsa" memiliki fokus dengan dunia seni. Begitu cintanya terhadap dunia seni, Bung Karno banyak mengoleksi karya seni saat masih menjabat sebagai presiden.

Bung Karno pun menuangkan jiwa seninya juga dalam karya sastra sajak. Bagi Bung Karno, sajak juga sebagai medium menggambarkan semangat juang dan keras kepala Bung Karno dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia.

Perspektif ini disampaikan tiga narasumber pada “Talkshow & Musik Bung Karno Series” Episode 30, bertajuk ‘Sajak-Sajak Abadi Bung Karno’ menghadirkan duo aktris Hapy Salma dan Widi Mulia dan pegiat sastra Garda Maharsi, dipandu anggota DPR RI Nico Siahaan, tayang di kanal Youtube Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan, Rabu, 30 Juni 2021.

Seniman muda Garda Maharsi mengawali perbincangan dengan membacakan puisi karya Bung Karno: Sejarahlah yang Akan Membersihkan Namaku. Dikutip dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” halaman 304, puisi itu berbunyi,


“Dengan setiap rambut di tubuhku

aku hanya memikirkan tanah airku

Dan tidak ada gunanya bagiku

melepaskan beban dari dalam hatiku

kepada setiap pemuda yang datang kemari

aku telah mengorbankan untuk tanah ini


Tidak menjadi soal bagiku

apakah orang mencapku kolaborator

Aku tidak perlu membuktikan kepadanya

atau kepada dunia, apa yang aku kerjakan


Halaman-halaman dari revolusi Indonesia

akan ditulis dengan darah Sukarno

Sejarahlah yang akan membersihkan namaku…”


Garda menjelaskan, diksi-diksi yang dipakai dalam puisi ‘Sejarahlah yang Akan Membersihkan Namaku’ menggambarkan nuansa perjuangan Bung Karno

“Puisi ini hidup dalam satu konteks, menerangkan Bung Karno memiliki prinsip ‘keras kepala’, tapi jelas untuk satu tujuan yakni kemerdekaan Indonesia," kata Garda.

Narasumber lain, Happy Salma membacakan puisi Bung Karno berjudul ‘Sarinah-Sarinah’ tentang perjuangan perempuan tanah air di masa itu.

“Saya kagum sekali atas pandangan luas seorang Bung Karno, di awal usia republik ini. Wawasan internasional beliau sangat variatif, melihat bagaimana seharusnya perempuan-perempuan kita seperti apa.  Kemerdekaan yang bagaimana, apakah versi pergerakan feminism, ala Kartini, ala Chalidah Hanum, atau ala Kollontay?” terang pemain teater kawakan itu.

Sarinah di sini digambarkan sebagai simbol dalam ideologi Bung Karno yakni kesetaraan posisi perempuan dalam suatu perjuangan kehidupan dan bukan untuk ditindas. Terbukti dengan adanya narasi: kemanusiaan akan terus pincang selama shaf yang satu menindas shaf yang lain.

"Sebuah penilaian personal Bung Karno menghargai orang-orang sekitar beliau, khususnya dari pengasuh perempuannya. Tak beda dengan saat bertemu seorang petani kecil dan melahirkan ideologi marhaenisme," kata Happy penuh semangat.

Adapun Widi Mulia Sunarya, penyanyi dan pemain seni peran membawakan musikalisasi puisi humanis Bung Karno berjudul ‘Dikantongi oleh Tuhan’, diambil dari buku ‘Ilmu dan Perjuangan’.


“Kita diprocotkan tidak di langit, tidak di laut,

Tapi diprocotkan di tanah air ini,

Yang dari tanah air inilah kita, saudara-saudara, dapat makanan dan minuman,

Yang dari tanah air inilah kita menghirup hawanya yang segar,

Tanah airlah tempat kita dari masih bayi merah itu 

tumbuh menjadi manusia yang dewasa sekarang,

Hai manusia,

Cintailah Tuhan yang dulu mengantongi engkau.

Cintailah Ibu Bapakmu, dapur yang dibuat Tuhan untuk menggumelarkan engkau,

Cintailah tanah air yang di tempat itu engkau dapat minum, makan dan lain sebagainya…”


Menurut Widi, puisi ini menggambarkan kejenakaan sekaligus jiwa penuh kasih Bung Karno.  

Bung Karno menceritakan konsep kehidupan secara menyeluruh, tapi amat sederhana. Ada kata-kata ‘gumelar’, lalu ada kata ‘procot’. Beliau memang seorang seniman sejati. Lugas tapi tetap terasa pantas dan ringan,” kata perempuan kelahiran Jakarta, 42 tahun lalu itu.

Bersama kemudian mereka bertiga membacakan puisi kondang Bung Karno lain: ‘Putra Sang Fajar’, dicuplik dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 24, 25, 26.

 

“…. Karena aku terdiri dari dua belahan

aku dapat memperlihatkan segala rupa

aku dapat mengerti segala pihak

aku memimpin semua orang

boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan

boleh jadi juga pertanda lain.

Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu

menjadikanku seorang yang merangkul semuanya….”


Garda menafsirkan, bahwa puisi ‘Putra Sang Fajar’ sangat menggambarkan kepribadian diri Bung Karno

“Dari sini ada pesan yang ditempelkan bahwa Bung Karno lahir di tanah Indonesia, dikelilingi keluarga terkasih orang Indonesia, hidup di lintasan sejarah Indonesia, dan tentu cinta kepada bangsa Indonesia," kata Garda. 

Dari sisi Happy, pembahasan soal ‘Gemini’ sebagai rasi bintang yang ditonjolkan Bung Karno tentang personalitanya menjadi sesuatu yang menarik.

“Selain memakai bahasa yang sangat relevan untuk anak kekinian, Bung Karno menilai dirinya sangat menusia. Beliau pun tak mengkultuskan dirinya. Ditegaskan, bahwa manusia itu selalu ada dua sisi,” urai Happy.

Widi pun menggarisbawahi, puisi ini menunjukkan bahwa profil seorang pemimpin tak bisa lepas dari akarnya. Selain Bung Karno tampak sebagai seorang yang nyaman dengan dirinya sendiri, bebas dari perasaan ‘insecurity’.

“Begitu customized dan sangat organic. Termasuk saat Bung Karno menunjukkan kondisi ‘ketiadaan’ untuk menggambarkan kesederhanaan di masa kelahirannya. Pencerita yang ulung sehingga layak menjadi Bapak Bangsa melalui gagasan besar dengan bahasa ringan dan nancap,” pungkas Widi.

KEYWORD :

Happy Salma Widi Mulia Sajak Bung Karno BKNP PDI Perjuangan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :