Selasa, 23/04/2024 16:26 WIB

MPR RI Harap Internalisasi Pancasila Hingga ke Keluarga

Menginternalisasikan dan membudayakan Pancasila sama dengan membangun satu peradaban.

Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah. Foto: kwp/jurnas.com

JAKARTA, Jurnas.com – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PDI-P Ahmad Basarah berharap agar proses interalisasi Pancasila dilakukan hingga ke lingukungan terkecil, yakni keluarga.

“Proses internalisasi dan menanamkan nilai-nilai Pancasila hingga ke lingkungan keluarga ini penting agar generasi muda tidak tersusupi oleh paham ekstrimisme,” kata Basarah dalam diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema "Menangkal Penyusupan Paham Ekstremisme di Kalangan Kaum Muda" di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (26/4/2021).

Basarah mengatakan, dari beberapa aksi terorisme yang terjadi ada kecenderungan para pelakunya berasal dari kalangan generasi muda. Misalnya pelaku bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton tahun 2009, Nana Ikhwan, berusia 20 tahun, pelaku bom bunuh diri JW Marriot tahun 2009, Dani Dwi Permana, berusia 18 tahun, dan pelaku teror di Mabes Polri, Zakiah Aini,  juga bartu baru berusia 26 tahun.

“Dari fakta-fakta ini kelihatanmya kaum terorisme menyasar generasi muda,” kata Basarah.

Persoalannya, lanjut Basarah, di tengah booming generasi produktif penduduk Indonesia,  kaum teroris dipermudah untuk melakukan aksi rekrutmen, kemudian brainwashing dan indoktrinasi dengan dengan memanfaatkan kemudahan teknologi informasi.

Basarah melihat, dalam konteks bernegara  akar persoalan munculnya radikalisme dan extrimisme agama di tengah-tengah masyarakat kita karena salah satu faktornya adalah karena negara atau pemerintah pernah abai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya membangun dan membina mental ideologi bangsanya sendiri.

“Dalam catatan politik,  pernah terjadi semacam gelar karpet merah bagi masuknya berbagai ideologi transnasional ke Indonesia. Itu terjadi setelah pencabutan TAP MPR nomor 2 tahun 78 tentang P4 dan dilanjutkan pembubaran BP7,” katanya.

Sejak saat itu, kata Basarah, program Penataran P4 langsung ditiadakan hanya karena salah diagnosa bahwa Pancasila itu adalah milik satu rezim.  Sehingga ketika satu rezim  itu berganti, Pancasilanya dicabut.

“Padahal tidak mungkin Pancasila itu menjadi working ideologi,  ideologi yang bisa bekerja di tengah masyarakat, kalau disosialisasikan pun tidak. Apalagi dibina, disosialisasikanpun  tidak,” ujarnya.

“Pada Revisi Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 juga sistem pendidikan nasional mencabut mata pelajaran Pancasila dari mata pelajaran wajib. Maka sejak saat itulah seakan-akan sempurna upaya untuk mencabut memori Pancasila dari memori kolektif bangsanya sendiri,” lanjutnya.

Begitu juga dengan perdebatan beberapa hari terakhir atas munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang standar pendidikan nasional yang tidak lagi memasukan mata pelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia kedalam kurikulum pendidikan.

“Bagaimana mungkin Pancasila dapat mengantarkan bangsa Indonesia sampai kepada tujuannya,  jika para penyelenggara negara sendiri masih memiliki keraguan  bahwa Pancasila ini perlu diinternalisasikan dan di institusionalisasikan dalam lembaga-lembaga pendidikan,” tutur Basarah.

Diluar institusionalisasi dan internalisasi Pancasila melalui lembaga-lembaga pendidikan,  baik formal maupun nonformal,  perlu juga internalisasi dan sosialisasi Pancasila di dalam keluarga-keluarga sebagai struktur sosial terkecil.

“Menginternalisasikan dan membudayakan Pancasila sama dengan membangun satu peradaban. Sebab bilaPancasila tidak diperkenalkan oleh para keluarga sejak di rumah, maka tidak mungkin Pancasila menjadi  bagian dari nilai-nilai kehidupan generasi muda kita,” tutupnya.

KEYWORD :

Kinerja MPR pancasila ekstrimisme radikalisme




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :