Kamis, 25/04/2024 13:05 WIB

Opini

Anomali Neo Jakarta

Jakarta sebagai etalase negara selalunya menjanjikan mimpi-mimpi manis bagi semua.

Apakah sama upaya membiarkan orang miskin kota hidup survive dengan menata ulang pemukiman kumuh mereka dan menggusur atas nama penataan untuk kemudian dialihkan ke rusunawa lalu tinggal tumpuk-menumpuk layaknya pengungsi dengan kewajiban membayar harga sewa tinggi bagi mereka?

Kalau ada riset independen sungguhan (bukan pesanan majikan). Bisa dibayangkan. Tinggal tumpuk-menumpuk dan berhimpitan dalam satu gedung sangatlah tersiksa. Problem sosialnya ikut tumpuk-menumpuk. Lokalisasi problem sosial yang kompleks. Bahkan boleh jadi selentingan rumor yang beredar tentang upaya terselubung untuk mengusir orang-orang kecil tersebut agar keluar dari ibukota bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Memang butuh riset serius untuk membuktikannya.

Kemiskinan kota bukan melulu persoalan malas dan bodoh tapi selalu ada ketidakadilan dari tangan-tangan besi kapitalis yang berperan di balik layar (invisible hands). Penindasan terselubung dari orang berpunya (borjuis) yang mengandalkan kekuatan modal besar (superpower) terhadap mereka (proletariat) yang harus rela terpinggirkan atas nama tata kelola pembangunan yang sarkastik inkrementalis.

Padahal, Jakarta sebagai etalase negara selalunya menjanjikan mimpi-mimpi manis bagi semua. Termasuk orang-orang kecil yang datang mengadu nasib ke sana. Mimpi agar bisa bertumbuh dalam perubahan nasib mereka yang semakin membaik tanpa mesti harus was-was kena sikat atau sikut. Sayangnya, efek dari kejamnya strukturasi dan kapitalisasi seolah membuyarkan mimpi-mimpi manis itu. Lalu, kalau tidak untuk kedermawanan untuk apa pula kemiskinan kota itu mesti ada? Kecuali, kota memang direkayasa sebagai ruang berhala pemujaan materialisme belaka.

Singapura adalah bukti (success story) negara kota yang sukses memarginalkan pribuminya dan menyejahterakan para pendatang (imigran). Devisa utamanya bersumber dari pajak atas transaksi belanja barang dan pelayanan jasa juga investasi bisnis segala rupa. Proyek reklamasi dan kapitalisme tersukses se-Asia bahkan mungkin se-dunia.

Kapitalisme duri lunak itu, meminjam istilah Wahyu Wibowo dalam bukunya ‘Sihir Iklan’, kini telah mengeras dan menjadi paku-paku yang mengancam kaki dekil (eksistensi) kaum papa untuk turut serta menikmati pengembangan ibu kota. Dan, Jakarta hari ini, gencarnya reklamasi di seputar teluk Jakarta telah menciptakan berhektar-hektar dataran baru untuk apartemen, hotel, dan pusat-pusat bisnis. Kota reklamasi (surga baru) impian kaum hedonis yang dibangun oleh tangan besi kapitalis nan digdaya.

Bahkan tak sedikit kaum cerdik pandai suka cita menyambutnya. Takluk pada citra hedonisme yang saban waktu mereka dengang-dengung mengagungkannya. Jika dulu (paruh 70-an akhir) ada film bergenre komedi berjudul ‘Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota’ maka kini apa yang dikritik pada film itu seolah telah berubah menjadi horor nonfiksi.

Lalu segelintir orang yang telah merasa dirinya mapan dengan enteng berdalih, ” Nikmatilah hidupmu selagi mampu, Kawan! “. Ya, semoga saja anak-anak keturunan kita pun masih bisa leluasa merasakan indahnya ibu kota mereka di kemudian hari. Dengan begitu mudahnya tanpa membutuhkan banyak biaya demi menjenguk sanak saudaranya atau sekedar berjalan-jalan menikmati kesuksesan pembangunan. Kalau saja mereka dimampukan untuk itu. Karena bisa saja, tak lama lagi, Jakarta is for the haves only. There’s no way for the poor even to get a small space.

 

Penulis : Wan Putuhena

Pemerhati kajian sosial-politik dan pendidikan. Bekerja sebagai staf pengajar dan peneliti ilmu komunikasi dan ilmu-ilmu sosial kontemporer. Pernah berkecimpung di organisasi kemahasiswaan semasa kuliah. Kini aktif sebagai blogger dan pegiat wacana publik di sosial media. Berdomisili di kota Ambon, provinsi Maluku, Indonesia.

KEYWORD :

Penggusuran Opini Wan Putuhena




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :